Festival Kebudayaan Yogyakarta 2025 di Gunungkidul: Dari Bumi untuk Negeri
Any Sayekti
Sabtu, 11 Oktober 2025 22:37 WIB
Yogyakarta, eNews – Desa Logandeng, Gunungkidul, akhir pekan ini berubah menjadi panggung besar kebudayaan rakyat. Festival Kebudayaan Yogyakarta (FKY) 2025 resmi dibuka pada Sabtu (11/10/2025), menandai dimulainya rangkaian perayaan budaya yang mengakar dari tanah, hasil bumi, dan kehidupan masyarakat desa.
Tahun ini, FKY mengusung tema “Adoh Ratu Cedak Watu” — yang berarti jauh dari pusat kekuasaan, tetapi dekat dengan akar budaya dan kekuatan tanah. Tema tersebut terasa begitu hidup di tengah masyarakat Gunungkidul, yang telah lama dikenal dengan ketangguhan dan kesetiaan mereka menjaga alam dan tradisi.
Lebih dari Sekadar Pesta
Sekretaris Daerah (Sekda) DIY, Ni Made Dwipanti Indrayanti, menegaskan bahwa FKY bukan sekadar ajang hura-hura, melainkan ruang penghormatan kepada bumi dan mereka yang bekerja bersamanya.
“Kita ingin masyarakat melihat FKY bukan sebagai tontonan, tapi sebagai refleksi. Ini tentang menghargai hasil bumi dan para pelaku di baliknya,” ujar Ni Made saat membuka acara di Lapangan Desa Logandeng.
Pembukaan festival ditandai dengan pawai hewan ternak — sapi, kambing, dan kerbau — yang berjalan anggun di sepanjang jalan desa. Aksi itu bukan tanpa makna: simbol penghormatan terhadap hewan-hewan yang membantu petani menjaga siklus kehidupan.
“Pawai ini bukan untuk hiburan semata. Ini bentuk rasa terima kasih atas makhluk yang membantu manusia,” tambah Ni Made.
Budaya yang Menghidupkan Ekonomi
Di area festival, deretan stan warga menampilkan hasil kerajinan, olahan pangan lokal, hingga pertunjukan seni rakyat. Bukan hanya warga Gunungkidul, pelaku UMKM dari Sleman dan Bantul pun turut ambil bagian.
“Festival seperti ini membantu sekali. Pengunjung ramai, dan jualan saya laku keras,” ujar Siti Maryani (42), warga Logandeng yang menjual kudapan tradisional thiwul dan jadah tempe.
FKY bukan hanya melahirkan karya seni, tetapi juga memutar roda ekonomi desa. Sekda DIY menekankan bahwa kegiatan budaya semacam ini punya dampak ekonomi yang terukur.
“Kita perlu menghitung berapa banyak ekonomi tumbuh dari festival ini. Dari pedagang kecil, transportasi lokal, hingga pengrajin — semua ikut bergerak,” tegasnya.
Suparno (55), pengrajin topeng kayu asal Playen, membenarkan hal itu. Produk kerajinannya laris dibeli pengunjung luar kota.
“Ada pembeli dari Jakarta dan Bandung. Mereka bilang suka karena motifnya khas Gunungkidul,” ujarnya bangga.
Ritual dan Alam yang Dijaga
Selain pawai, pengunjung juga disuguhi tradisi yang sarat makna ekologis, seperti Kirim Parem untuk Dewi Sri dan Nglangse Pohon. Dalam Kirim Parem, para petani membawa racikan rempah dan hasil bumi untuk dipersembahkan kepada Dewi Sri sebagai lambang kesuburan.
Tradisi Nglangse Pohon, di mana warga menyelimuti pohon besar dengan kain putih, menjadi simbol penghormatan terhadap alam.
“Kalau sudah diselimuti, orang tidak berani menebang. Ini cara sederhana menjaga alam,” kata Pak Darmo (60), sesepuh desa yang ikut memimpin ritual tersebut.
Ritual-ritual ini, menurut Ni Made, adalah bentuk kearifan lokal yang sejalan dengan semangat modern pelestarian lingkungan.
“Kita bisa belajar dari tradisi. Mereka sudah mengajarkan cara menjaga bumi jauh sebelum ada istilah ‘green living’,” ujarnya.
Gunungkidul: Dari Pinggiran Menjadi Pusat Inspirasi
Gunungkidul dikenal sebagai wilayah yang “jauh dari pusat kekuasaan”, namun justru di situlah kekuatannya. Daerah ini menjadi contoh bagaimana budaya dan kemandirian masyarakat dapat menjadi fondasi pembangunan yang berkelanjutan.
“Gedangsari misalnya, dulunya masuk wilayah dengan kemiskinan tinggi. Tapi produk lokal mereka kini bisa dijual di Yogyakarta International Airport. Itu bukti bahwa potensi lokal bisa bersaing,” tutur Ni Made.
FKY 2025 di Gunungkidul akan berlangsung hingga 18 Oktober 2025, menampilkan ratusan seniman, komunitas budaya, dan pelaku kreatif dari berbagai daerah.
Festival ini bukan hanya perayaan seni, tapi juga ajakan untuk kembali memaknai hubungan manusia dengan tanah tempatnya berpijak.
“Kita hidup dari bumi. Sudah sepatutnya kita menghormati bumi dengan cara yang indah — lewat budaya,” ujar Ni Made menutup pernyataannya. (Sayekti)
Baca Lainnya
Ribuan Warga Padati GOR Among Raga, Dodolanan 2025 Resmi Dibuka Meriah di Yogyakarta
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 1 Hari
Inovasi Lingkungan: Warga Tanjung Perak Panen Rp6.000/Liter Hanya dengan Setor Minyak Jelantah ke Mesin Ucollect
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 4 Hari
Gianti Indonesian Fine Dining Resmi Hadir di Sagan, Tambah Pilihan Kuliner Premium di Yogyakarta
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 18 Hari
Ngayogjazz 2025 Hidupkan Imogiri dengan Perpaduan Jazz dan Tradisi
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 22 Hari
TTL Catat Kinerja Operasional Cemerlang: Arus Petikemas Meningkat Signifikan Didorong Rute Internasional Baru
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 25 Hari
5 Motor Bebek Paling Irit BBM 2025: Jagoan Hemat BBM untuk Harian dan Jarak Jauh
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 26 Hari
Pemerintah Dorong Akselerasi Program Tiga Juta Rumah Lewat KPP dan FLPP di Yogyakarta
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 28 Hari
Sejarah Baru Kuala Tanjung: PMT Berhasil Layani Pengapalan Perdana MSC Group, Buka Jalur Tetap Internasional di Selat Malaka
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 1 Bulan
Pelindo Regional 3 Hormati dan Kooperatif Terkait Penyitaan Uang Rp70 Miliar Kasus Korupsi Pelabuhan Tanjung Perak
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 1 Bulan
Tingkatkan Kualitas SDM Logistik, PT Terminal Teluk Lamong Luncurkan Program Akselerasi SIM Driver Andalan
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 1 Bulan
