Jeritan di Balik Gerbang Sekolah: Mengapa Kekerasan dan Perundungan Tak Kunjung Padam?
yupan
Senin, 1 Desember 2025 19:46 WIB
Oleh: Azzahra Aprilia
Fakultas Kesehatan Masyarakat
Instagram : zzhliaa_
Dua kejadian di bulan November ini benar-benar membuat hati kita teriris. Seorang anak berusia 13 tahun di SMPN 19 Tangerang Selatan, MH, akhirnya meregang nyawa setelah berbulan-bulan menjadi sasaran kekerasan teman-temannya. Kekerasan itu mulai sejak Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah di bulan Juli. Pukulan dan tendangan datang berulang kali. Puncaknya, pada 20 Oktober 2025, kepalanya dihantam kursi besi. Ia bertahan di rumah sakit hingga akhirnya menghembuskan napas terakhir pada 16 November di RS Fatmawati. Keluarga menolak damai secara kekeluargaan. KPAI dengan tegas meminta proses hukum terbuka, bukan penyelesaian di balik pintu sekolah.
Belum hilang rasa duka itu, datang lagi kabar yang tak kalah mengerikan. Tanggal 7 November 2025, ledakan mengguncang SMAN 72 Jakarta di Kelapa Gading. Sebanyak 96 siswa terluka, kebanyakan masih menunaikan salat Jumat di masjid sekolah.Pelakunya ternyata siswa kelas XII di sekolah yang sama, remaja 17 tahun yang tergabung dalam grup daring bernama “True Crime Community”. Ia mengaku sering dirundung, merasa sendirian, dan tak pernah didengar. Dorongan dari rasa sakit psikologis dan dendam akibat perundungan tak terselesaikan inilah yang mendorongnya merakit bom sederhana dari kalium klorida yang ia beli secara daring. Insiden ini membuktikan bahwa kekerasan di sekolah kini tak hanya berbentuk fisik, namun juga ledakan dari luka psikologis yang selama ini diabaikan.
Kedua tragedi ini bukan sekadar kasus terpisah. Mereka adalah cermin dari penyakit yang sudah lama menggerogoti sistem pendidikan kita. Sekolah terlalu sibuk mengejar angka, sehingga lupa bahwa tugas utamanya adalah membentuk manusia, bukan sekadar mencetak nilai. Ketika anak-anak dipaksa menahan beban emosional sendirian, tanpa pendampingan yang memadai, maka yang muncul adalah kekerasan—baik yang dilakukan kepada orang lain maupun yang meledak dari dalam diri sendiri. Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) dengan lantang menyatakan bahwa sekolah-sekolah yang diterpa kasus itu telah mengabaikan Permendikbud Ristek Nomor 46 Tahun 2023, yang mewajibkan setiap satuan pendidikan membentuk tim pencegahan dan penanganan kekerasan secara sungguh-sungguh.
Fakta di lapangan memperkuat kegagalan ini. Platform Sistem Aduan Terpadu (SATU) Kemendikdasmen mencatat lonjakan drastis dalam laporan kasus kekerasan hingga November 2025. Data Asesmen Nasional 2022 bahkan menunjukkan bahwa satu dari tiga siswa berisiko mengalami trauma, dengan 34,51% berpotensi mengalami kekerasan seksual dan 36,31% berisiko perundungan. Sayangnya, di banyak daerah, Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan sama sekali belum terbentuk karena kelalaian pemerintah setempat.
Patut disayangkan, ketika dunia mengukur kesejahteraan anak sekolah lewat PISA 2022 yang dirilis OECD akhir 2023, posisi Indonesia sungguh memilukan. Dalam hal pengendalian emosi, kita hanya mampu mencatat angka minus 0,16, terdampar di urutan 55 dari 61 negara yang disurvei. Dukungan dari keluarga sendiri ternyata lebih buruk lagi, skornya minus 0,32, membuat kita nyungsep ke peringkat 74 dari 78 negara. Anak-anak kita, nyatanya, jauh lebih rapuh menghadapi tekanan hidup sehari-hari.
Yang lebih menyedihkan, hanya sekitar seperempat siswa kita yang benar-benar mampu membaca dengan baik. Tiga perempat siswa lain masih tersandung hanya untuk memahami teks biasa. Dengan fondasi literasi dan kesehatan jiwa yang sudah retak begini, apa iya kita masih berani bermimpi angka PISA akhir tahun nanti bakal melonjak tiba-tiba? Harapan itu, jujur saja, terasa semakin jauh dari jangkauan.
Namun demikian, harus diakui bahwa Kurikulum Merdeka yang kini menjadi kurikulum nasional sejak tahun ajaran ini membawa harapan yang tidak kecil. Konsepnya memang cerdas—belajar yang benar-benar mendalam, proyek yang melibatkan kerja sama, dan penguatan Profil Pelajar Pancasila yang menempatkan karakter serta kesehatan mental di urutan terdepan. Guru pun diberi ruang gerak lebih leluasa, termasuk untuk memadukan bimbingan konseling sejak awal agar tanda-tanda perundungan bisa terdeteksi sebelum terlambat.
Sayangnya, semua itu akan lenyap tak berjejak bila dua persoalan pokok ini terus dibiarkan menganga. Pertama, jumlah guru BK yang masih memilukan. Satu orang harus merangkap tangani ratusan anak, bahkan sampai lima ratus. Alhasil, urusan jiwa dan kesehatan mental hanya jadi coretan di laporan akhir tahun, tak pernah benar-benar menyentuh anak yang membutuhkan. Kedua, pengawasan yang masih jauh dari kata efektif. Pengawas sekolah lebih sering berkubang di tumpukan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran daripada turun ke kelas, mendampingi guru, atau menjadi pembimbing yang sesungguhnya. Maka tak mengherankan jika sinyal bahaya di SMPN 19 Tangerang Selatan maupun SMAN 72 Jakarta lolos begitu saja dari radar.
Karena itu, pemerintah tak boleh lagi merasa cukup dengan janji di atas kertas. Yang dibutuhkan sekarang adalah langkah nyata. Rekrutmen besar-besaran guru BK mesti segera digeber—targetkan tambahan lima puluh ribu orang hingga 2026—agar setiap anak benar-benar punya pendamping. Pengawasan harus diperketat lewat data yang terpusat di platform SATU. Anggaran khusus wajib dialokasikan untuk melatih para pengawas supaya mereka menjadi pelatih handal, bukan hanya pencatat berkas. Orang tua dan warga sekitar juga tak boleh lagi jadi penonton—mereka harus dilibatkan penuh dalam Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di tiap daerah.
Jika semua itu masih saja ditunda, sekolah akan tetap menjadi mesin dingin yang memuntahkan angka, bukan tempat yang hangat bagi anak-anak untuk bertumbuh jadi manusia utuh. Anak-anak kita pantas mendapat lebih dari sekadar nilai di kertas ujian. Mereka berhak mendapat masa depan yang tidak ternoda luka. Kasus MH dan ledakan di SMAN 72 adalah tamparan keras. Generasi yang membawa cita-cita Indonesia Emas 2045 sedang kita biarkan terluka dalam-dalam. Masihkah kita tega membiarkan itu terus terjadi? Jika Anda tidak setuju, ini adalah waktu yang sangat penting untuk bertindak nyata dengan memprioritaskan pembangunan karakter dan kesehatan mental siswa di atas segalanya.
Sumber Referensi :
1. Kompas.com. (2025, 19 November). Fakta Baru Kasus Bullying Siswa SMPN Tangsel yang Berujung Kematian. Diakses dari https://megapolitan.kompas.com/read/2025/11/19/08092751/fakta-baru-kasus-bullying-siswa-smpn-tangsel-yang-berujung-kematian.
2. Detik.com. (2025, 16 November). 7 Fakta Siswa SMPN di Tangsel Di-bully hingga Meninggal Usai Dirawat. Diakses dari https://news.detik.com/berita/d-8213993/7-fakta-siswa-smpn-di-tangsel-di-bully-hingga-meninggal-usai-dirawat.
3. CNA.id. (2025, 7 November). Bom Rakitan Disinyalir Sumber Ledakan SMAN 72, Pelaku Diduga Korban Bullying. Diakses dari https://www.cna.id/indonesia/bom-rakitan-disinyalir-sumber-ledakan-sman-72-pelaku-diduga-korban-bullying-40531.
4. Sindonews.com. (2025, 7 November). Ledakan SMAN 72 Jakarta Diduga Berasal dari Bom Rakitan, Pelaku Siswa Korban Bullying. Diakses dari https://daerah.sindonews.com/read/1641551/6/ledakan-sman-72-jakarta-diduga-berasal-dari-bom-rakitan-pelaku-siswa-korban-bullying-1762510261.
5. Liputan6.com. (2025, 16 November). KPAI Soroti Siswa SMPN 19 Tangsel Meninggal Usai Dibully: Hak Anak Harus Ditegakkan. Diakses dari https://www.liputan6.com/news/read/6213086/kpai-soroti-siswa-smpn-19-tangsel-meninggal-usai-dibully-hak-anak-harus-ditegakkan.
6. Antara News. (2024, 23 Juli). FSGI: Evaluasi Permendikbud 46/2023 Guna Tekan Kasus Kekerasan Anak. Diakses dari https://www.antaranews.com/berita/4212036/fsgi-evaluasi-permendikbud-46-2023-guna-tekan-kasus-kekerasan-anak.
7. Kemendikdasmen. (2025). Urgensi PPKSP – Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Diakses dari https://merdekadarikekerasan.kemendikdasmen.go.id/urgensi-ppksp/.
8. OECD. (2023, Desember). PISA 2022 Results (Volume I and II) - Country Notes: Indonesia. Diakses dari https://www.oecd.org/en/publications/pisa-2022-results-volume-i-and-ii-country-notes_ed6fbcc5-en/indonesia_c2e1ae0e-en.html.
9. OECD Education GPS. (2022). Indonesia - Student Performance (PISA 2022). Diakses dari https://gpseducation.oecd.org/CountryProfile?primaryCountry=IDN&topic=PI&treshold=10.
10. Kemendikdasmen. (2025). Pendekatan Deep Learning Masuk Kurikulum Merdeka Tahun Ini. Diakses dari https://tangselxpress.com/2025/07/23/pendekatan-deep-learning-masuk-kurikulum-merdeka-tahun-ini-kemendikdasmen-beri-penjelasan/.
11. Detik.com. (2025, 11 November). 8 Dimensi Profil Lulusan Pembelajaran Mendalam (Deep Learning) dan Contohnya. Diakses dari https://www.detik.com/jateng/berita/d-8206710/8-dimensi-profil-lulusan-pembelajaran-mendalam-deep-learning-dan-contohnya.
12. Waspada.id. (2025, 11 November). Kekurangan Guru BK di Indonesia: 58 Ribu untuk Jutaan Siswa, Cukupkah?. Diakses dari https://www.waspada.id/citizen-journalism/kekurangan-guru-bk-di-indonesia-58-ribu-untuk-jutaan-siswa-cukupkah/.
Baca Lainnya
Sumatra Tenggelam dalam Kubangan Bencana Negara: Sebuah Orbituari Ekologis
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 3 Hari
Dalam Sunyi, Menemukan Arti Perjuangan
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 11 Hari
Reformasi Kejaksaan di Bawah ST Burhanudin: Perkuat SDM, Ratakan Kinerja, Prioritaskan Hukum Humanis
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 12 Hari
Menjadi yang Terdepan Tanpa Berebut Menjadi yang di Depan
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 13 Hari
Hilang Arah untuk Sejarah: Pentingnya Mengenang Masa Lalu
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 18 Hari
Korupsi dan Jerat Ekosistem Kepemimpinan: Refleksi untuk Keluar dari Jebakan
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 23 Hari
Mewarisi Api Pembaruan: Konsistensi Ideologis Muhammadiyah di Tengah Zaman untuk Memajukan Kesejahteraan Bangsa
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 1 Bulan
Langkah Sederhana Menuju Jepang
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 1 Bulan
Menyambut Hadiah Indah: Merengkuh Makna Kematian dengan Ridha
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 1 Bulan
