Lestarikan Memori Kolektif, Mahasiswa Sejarah UNAIR Hidupkan Kembali Kisah Candi Tawangalun yang Nyaris Terlupa

yupan
Selasa, 2 Desember 2025 20:56 WIB
Istimewa

eNews - HMD Ilmu Sejarah Universitas Airlangga menutup penghujung November dengan sebuah perjalanan kecil yang menyentuh ingatan panjang masa lalu. Selama tiga hari dua malam, sejak 28 sampai 30 November 2025, mahasiswa, dosen, dan warga Desa Buncitan, Kecamatan Sedati, Sidoarjo, berkumpul di area sekitar Candi Tawangalun, sebuah situs bata merah yang diperkirakan peninggalan Majapahit akhir, ada pula yang menyebutnya peninggalan dari Kerajaan Medang. Yang kini berdiri rapuh di tengah pemukiman tambak.

Candi berukuran 5 x 5 meter dengan ketinggian tersisa sekitar 2,5 meter ini menyimpan kisah yang lama terpendam. Dahulu, bangunan ini nyaris tak dikenali sebagai candi karena tertimbun lumpur dan tanah, sehingga dari permukaan hanya tampak lubang menyerupai sumur. Masyarakat menyebutnya Sumur Windu, sebelum kemudian diketahui sebagai sisa struktur candi. Di balik bata-bata yang lapuk itu, hidup legenda tentang Resi Tawang Alun, tokoh spiritual yang bertapa di sini, menjaga sunyi dan doa yang terhembus dari dunia yang telah berganti ratusan tahun, ingatan itu hidup di tengah-tengah memori kolektif masyarakat.

Program bertajuk PUSAKA (Promosi Untuk Situs Sejarah dan Kebudayaan) ini mengajak publik untuk kembali melihat situs yang nyaris terlupakan. Hari pertama diawali dengan kerja bakti pembersihan area situs dan pemasangan papan informasi, sebagai langkah awal mengenalkan kembali nilai sejarah candi kepada masyarakat. Malamnya, rembug warga digelar di Posyandu Melon, membuka ruang kesepahaman dan dukungan dari penduduk sekitar.

Puncak kegiatan berlangsung pada Sabtu, 29 November 2025, melalui talkshow pelestarian situs budaya bersama juru kunci Pak Saipul, perwakilan Komunitas Begandring Surabaya T.P. Wijoyo, dan guru besar Sejarah UNAIR Prof. Dr. Purnawan Basundoro, M.Hum. Para pemateri mengulas asal-usul Candi Tawangalun, tradisi lisan yang menyelimutinya, serta strategi pelestarian yang harus dirancang sebagai kerja bersama, bukan sekadar tugas pemerintah atau akademisi semata. Di sela sesi serius, digelar Children Education dan lomba mewarnai yang diikuti anak-anak setempat, menjadikan pelestarian sejarah sebagai perayaan lintas usia.

Hari terakhir, 30 November 2025, ditutup dengan senam pagi bersama warga, sarapan kolektif, evaluasi kegiatan, dan aksi bersih kawasan situs. Di tengah sisa bata yang retak dan rumput liar yang tumbuh di sela dinding, mahasiswa dan warga bergandengan tangan memastikan bahwa jejak masa lampau tidak dibiarkan hilang begitu saja.

Kegiatan ini meninggalkan pesan yang sederhana namun tegas:
melestarikan situs sejarah bukan hanya menyelamatkan tumpukan bata tua, tetapi menjaga memori kolektif dan jati diri masyarakat. Candi Tawangalun mungkin kecil, mungkin tampak sepi, tetapi ia menyimpan suara panjang peradaban yang meminta untuk didengar kembali.

Penulis: Galih Dien Fu'adi 
Divisi Korlap Riset Pusaka 2025
HMD Ilmu Sejarah UNAIR

Baca Lainnya