Mengajarkan Pelestarian Lingkungan kepada Siswa di Tengah Deforestasi yang Terjadi Secara Sistematis

Didik Hermawan
Selasa, 2 Desember 2025 19:15 WIB
Dokumen Pribadi

Didik Hermawan, M.Pd 
Ketua PCPM Pakal 

Pernyataan Prabowo Subianto mengenai pentingnya memasukkan pendidikan lingkungan hidup ke dalam silabus nasional sebagaimana diberitakan oleh Detik pada 28 November 2025, ketika ia mengatakan bahwa siswa harus belajar “menjaga hutan-hutan kita”, pada dasarnya merupakan gagasan bernada progresif. Namun, gagasan ini berpotensi menjadi retorika simbolis apabila tidak disertai langkah struktural untuk memperbaiki tata kelola lingkungan. Pendidikan pada akhirnya hanya akan menjadi slogan apabila negara sendiri masih abai terhadap akar kerusakan ekologis.

Dalam laporan Okezone pada tanggal yang sama, Prabowo memperingatkan ancaman “perubahan iklim, pemanasan global, dan kerusakan lingkungan” sebagai alasan mendesak untuk memperkuat kurikulum lingkungan. Akan tetapi, kerusakan lingkungan di Indonesia tidak lahir dari kekosongan literasi ekologis di kalangan pelajar. Kerusakan itu berakar pada kebijakan perizinan yang longgar, tumpang tindih, dan sering kali memihak kepentingan korporasi besar. Dengan demikian, menekankan peran siswa tanpa membenahi regulasi adalah bentuk simplifikasi persoalan yang justru menghindari tanggung jawab negara.

Prabowo dalam pidato Hari Guru Nasional 2025 juga menyatakan, sebagaimana dikutip MetroTV, bahwa pendidikan lingkungan perlu memasukkan materi tentang bagaimana mencegah “pembabatan pohon” dan “perusakan hutan”. Tetapi pertanyaan yang lebih fundamental adalah: apakah siswa yang diharapkan dapat menghentikan pembabatan tersebut memiliki posisi politik untuk melawan izin konsesi raksasa sawit, tambang, dan HTI? Tanpa pemahaman kritis mengenai struktur kuasa yang melanggengkan deforestasi, pendidikan lingkungan akan jatuh menjadi pendekatan moralistik yang keliru sasaran.

Di titik inilah relevansi pemikiran Seyyed Hossein Nasr menjadi penting. Nasr sejak lama mengingatkan bahwa krisis ekologis bukan sekadar persoalan teknis atau perilaku individu, tetapi merupakan “krisis spiritual dan metafisik” yang lahir dari modernitas yang memisahkan manusia dari alam. Menurut Nasr, pendidikan lingkungan harus mengajarkan kembali sacred view of nature—pandangan bahwa alam adalah amanah dan bagian dari tatanan sakral yang menuntut penghormatan. Namun, Nasr juga menegaskan bahwa kesadaran spiritual ini tidak bisa tumbuh jika struktur sosial-politik yang memfasilitasi eksploitasi tetap dibiarkan. Dengan kata lain, membebankan tanggung jawab ekologis kepada siswa tanpa mengubah sistem perizinan dan arah pembangunan berarti mengulangi “kesalahan modern” yang berkali-kali dikritiknya: memusatkan solusi pada individu, tetapi membiarkan mesin perusak yang sesungguhnya terus berjalan.

Deforestasi Indonesia sebagian besar disebabkan oleh aktivitas industri ekstraktif, bukan oleh perilaku masyarakat apalagi siswa sekolah. ANTARA mencatat bahwa seruan Prabowo itu muncul sebagai respons atas banyaknya bencana alam, termasuk banjir dan longsor yang diperparah oleh hilangnya tutupan hutan. Namun, media yang sama juga menunjukkan bahwa kerusakan berlangsung di daerah-daerah yang memiliki izin usaha skala besar. Maka dari itu, wacana pendidikan lingkungan tanpa evaluasi izin justru berpotensi menutupi fakta bahwa pengrusakan hutan banyak dipicu oleh kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sendiri.

Mengajarkan siswa untuk menanam pohon atau menjaga sungai adalah hal yang baik, tetapi tidak cukup. Okezone dan iNews mencatat bahwa Prabowo berharap siswa dapat lebih peka terhadap kelestarian alam. Namun, tanggung jawab terbesar justru berada di level administrasi negara: kementerian, pemerintah daerah, dan lembaga pemberi izin. Kegagalan pengawasan, lemahnya sanksi, hingga praktik greenwashing membuat kerusakan lingkungan terus terjadi meski masyarakat sudah berkali-kali diajak “peduli”. Karena itu, memromantisasi siswa sebagai penjaga hutan adalah narasi yang tidak proporsional.

Pendidikan lingkungan yang efektif harus mengajarkan dinamika kebijakan publik, struktur ekonomi politik, serta peran izin industri dalam memprovokasi degradasi ekologis. Materi harus mencakup analisis AMDAL, prinsip kehati-hatian, instrumen hukum lingkungan, serta studi kasus kebijakan perizinan yang gagal. Hanya dengan pendekatan akademis kritis seperti ini, siswa dapat memahami bahwa lingkungan tidak rusak karena masyarakat tidak sadar, tetapi karena negara sering melonggarkan izin demi investasi jangka pendek. Pandangan Nasr memperkuat hal ini: pendidikan lingkungan yang sejati harus menyatukan pengetahuan kritis dan kesadaran spiritual, bukan berhenti pada simbol-simbol moralitas yang menghindari struktur penyebab kerusakan.
Di sinilah letak kritik utama: berbagai media seperti PRFM News dan MetroTV telah menyoroti bahwa seruan Prabowo untuk memasukkan pendidikan lingkungan datang di saat pemerintah terus memperluas ruang investasi di sektor sumber daya alam. 

Ketidakkonsistenan kebijakan ini menciptakan ironi publik: di satu sisi siswa diajak mencintai hutan, di sisi lain negara membiarkan izin-izin yang merusaknya tetap berjalan. Tanpa koreksi terhadap hal ini, pendidikan lingkungan hanya akan memberikan ilusi partisipasi warga sembari melanggengkan status quo—persis seperti kritik Nasr tentang modernitas yang hanya menambal krisis dengan solusi superfisial tanpa menyentuh akar moral dan strukturalnya.

Pendidikan lingkungan sangat penting, tetapi tidak boleh digunakan sebagai penutup kelemahan sistem perizinan yang justru menjadi sumber kerusakan terbesar. Jika pemerintah benar-benar ingin mewariskan bumi yang lebih baik kepada generasi muda, langkah pertama bukan sekadar memasukkan pelajaran lingkungan ke sekolah, melainkan memperketat dan memperbaiki tata kelola izin, menghentikan konsesi di kawasan ekologis vital, dan menegakkan hukum terhadap perusahaan yang melakukan pelanggaran. Barulah pendidikan dan kebijakan berjalan seiring, bukan saling menutupi sebuah harmoni tata kelola yang, dalam kerangka berpikir Nasr, merupakan bentuk nyata dari mengembalikan hubungan manusia dengan alam sebagai hubungan yang berlandas tanggung jawab, bukan eksploitasi.

Baca Lainnya
Dalam Sunyi, Menemukan Arti Perjuangan
Didik Hermawan
  • 0 Suka .
  • 0 Komentar .
  • 16 Hari