OJK: DARI REGULASI HINGGA PERLINDUNGAN, SEBERAPA EFEKTIF?

Nashrul Mu'minin
Jumat, 7 November 2025 15:42 WIB
OJK: DARI REGULASI HINGGA PERLINDUNGAN, SEBERAPA EFEKTIF?

Nashrul Mu'minin Content Writer Yogyakarta

Empat belas tahun keberadaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah melewati dinamika pembangunan sistem keuangan Indonesia. Namun, di balik citra kokoh sebagai pengawal stabilitas, muncul pertanyaan kritis: apakah stabilitas itu nyata atau sekadar ilusi? Tantangan ekonomi global, maraknya fintech ilegal, serta insiden kelembagaan internal menjadi bayang-bayang yang terus menyertai penilaian efektivitas OJK.

Mari kita bicara data. Dari sisi makroprudensial, hingga Juli 2024, rasio Non-Performing Loan (NPL) gross perbankan tercatat sebesar 2,26 %, turun tipis dari 2,27 % bulan sebelumnya; NPL net berada di 0,78 % (Juli 2024), dibandingkan 0,79 % (Juni 2024). Rasio Loan-at-Risk (LaR) tercatat sebesar 10,17 %, mendekati level sebelum pandemi yaitu 9,93 % (Desember 2019) OJK Portal. Selain itu, rasio likuiditas ("AL/NCD": 112,92 %; "AL/DPK": 25,37 %) dan permodalan (CAR: 26,78 %) menunjukkan bantalan kokoh bagi sistem perbankan OJK Portal.

Namun, stabilitas bank bukan satu-satunya aspek. Dari sisi perlindungan konsumen, sepanjang 2024, OJK mencatat 16.231 pengaduan terkait entitas keuangan ilegal—15.162 soal pinjaman online ilegal dan 1.069 terkait investasi ilegal. Tak hanya itu, OJK juga menghentikan dan memblokir total 11.389 entitas sejak 2017 hingga akhir 2024 OJK Portal. Penalti administratif pun diberikan: 293 peringatan tertulis kepada 188 PUJK, 20 perintah kepada 18 PUJK, dan 87 denda kepada 81 PUJK; serta penanganan 33.319 pengaduan konsumen dari 410.448 layanan yang masuk melalui APPK hingga 19 Desember 2024 OJK Portal.

Dari sudut regulasi dan inovasi pengawasan, OJK memang telah menunjukkan progres. Sejak terbentuk resmi pada akhir 2012 (mengambil alih fungsi Bapepam-LK dan BI pada 2014), OJK menerapkan regulasi berbasis Basel III dan Peraturan OJK (POJK) yang melindungi konsumen fintech seperti POJK 77/2016, 13/2018, dan 6/2022 WikipediaWorld BankJPTAM. Laporan dari Bank Dunia dan IMF mengapresiasi penguatan regulator melalui SupTech dan integrasi kewenangan berdasarkan UU P2SK (2023) World BankWikipedia.

Meski begitu, kritik tetap ada. Dalam studi akademis terbaru, implementasi regulasi OJK terhadap perlindungan konsumen fintech dinilai belum optimal—masih banyak pelanggaran terkait pinjol ilegal dan lemahnya penegakan sanksi, serta perlindungan data pribadi yang belum sepenuhnya terjaga JPTAMJournal Universitas Jabal Ghafur. Dengan demikian, ada celah nyata antara regulasi tertulis dengan praksis di lapangan.

Bagi saya, sebagai pengamat independen, data-data yang ada mencerminkan ambivalensi. OJK memang berhasil menjaga stabilitas teknis, terutama di sektor perbankan. Statistik krusial seperti Non-Performing Loan (NPL), rasio likuiditas, dan permodalan menunjukkan ketahanan yang patut diapresiasi. Angka-angka tersebut membuktikan bahwa secara makro, sistem keuangan Indonesia berada di jalur yang relatif aman.

Namun, keberhasilan di ranah makroprudensial belum sepenuhnya berbanding lurus dengan perlindungan publik. Di tengah derasnya perkembangan digital, khususnya fintech dan pinjaman online, masih banyak tantangan implementasi yang belum tuntas. Ribuan laporan masyarakat tentang pinjol ilegal dan praktik investasi bodong menunjukkan masih adanya celah yang gagal ditutup oleh regulator.

Kesimpulannya, tajuk “14 Tahun OJK: Stabilitas atau Sekadar Ilusi?” terasa relevan. Pemerintah dan OJK sudah membangun fondasi kuat dari sisi regulasi dan pengawasan makro, tetapi kenyataannya sebagian masyarakat masih rentan terhadap praktik merugikan. Stabilitas yang digadang-gadang itu belum sepenuhnya meresap hingga ke level mikro, tempat masyarakat paling sering bersentuhan langsung dengan sektor jasa keuangan.

Untuk menjadikan stabilitas itu nyata, diperlukan sinergi kebijakan, penegakan hukum yang lebih konsisten, serta edukasi keuangan yang lebih masif. Perlindungan konsumen tidak boleh sekadar formalitas administratif, melainkan harus menghadirkan rasa aman dalam aktivitas keuangan sehari-hari. Di sinilah ujian sebenarnya bagi OJK: mampu atau tidak menghadirkan keadilan dan perlindungan yang konkret bagi publik.

Akhirnya, apakah stabilitas itu nyata atau sekadar ilusi? Jawabannya, stabilitas memang ada—tetapi belum menyeluruh. OJK perlu lebih berani menutup celah dalam perlindungan konsumen, menindak tegas entitas ilegal, dan memastikan regulasi berjalan di lapangan. Dengan begitu, stabilitas yang dibanggakan tidak hanya berhenti pada angka di atas kertas, melainkan hadir sebagai bukti nyata perlindungan rakyat.

ojkindonesia
Baca Lainnya
DQ Kembali Salurkan Makanan untuk 2300 Warga Gaza Palestina
Wildan Rahmawan
  • 0 Suka .
  • 0 Komentar .
  • 3 Hari