Revitalisasi Iman di Era Disrupsi: Analisis Tantangan Spiritual Generasi Z
Didik Hermawan
Sabtu, 4 Oktober 2025 14:45 WIB
Didik Hermawan
Penikmat Kopi Pinggir Kota
Era disrupsi telah melahirkan perubahan besar dalam hampir semua aspek kehidupan manusia, mulai dari teknologi, komunikasi, hingga pola pikir dan perilaku sosial.
Perubahan yang sangat cepat ini membawa manfaat luar biasa, tetapi sekaligus menghadirkan tantangan mendasar bagi kehidupan spiritual, khususnya bagi Generasi Z kelompok muda yang lahir dan tumbuh dalam lingkungan serba digital.
Di tengah derasnya arus informasi, deras pula derasnya nilai-nilai baru yang kadang bertentangan dengan ajaran iman. Revitalisasi iman, karenanya, menjadi kebutuhan mendesak agar generasi ini tidak tercerabut dari akar spiritualnya.
Iman dalam Islam bukan sekadar keyakinan di dalam hati, melainkan energi moral dan spiritual yang mengarahkan perilaku manusia menuju kebaikan. Allah ﷻ berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ
"Wahai orang-orang yang beriman, berimanlah kepada Allah dan Rasul-Nya." (QS. An-Nisā’ [4]:136)
Ayat ini menunjukkan bahwa iman perlu terus diperbaharui dan ditumbuhkan; bukan sesuatu yang statis, melainkan dinamis sesuai dengan situasi zaman.
Generasi Z yang hidup dalam dunia serba cepat dan instan memerlukan proses revitalisasi iman agar spiritualitasnya tidak luntur di tengah derasnya gelombang materialisme digital.
Salah satu tantangan besar spiritual Generasi Z adalah krisis makna. Dalam era media sosial, citra dan penampilan sering kali lebih dihargai dibanding kedalaman moral dan kejujuran batin.
Akibatnya, banyak anak muda merasa kosong di tengah kemudahan hidup. Fenomena ini sejalan dengan sabda Rasulullah ﷺ:
يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ، لَا يَبْقَى مِنَ الإِسْلَامِ إِلَّا اسْمُهُ، وَلَا يَبْقَى مِنَ القُرْآنِ إِلَّا رَسْمُهُ
"Akan datang suatu masa di mana tidak tersisa dari Islam kecuali namanya, dan tidak tersisa dari Al-Qur’an kecuali tulisannya." (HR. Al-Baihaqi).
Hadis ini menjadi peringatan bahwa iman tanpa penghayatan hanya akan menjadi simbol kosong yang kehilangan ruh spiritual.
Tantangan berikutnya adalah distraksi digital. Arus notifikasi, hiburan instan, dan algoritma media sosial menciptakan budaya cepat bosan dan sulit fokus. Dalam kondisi demikian, aktivitas spiritual seperti shalat khusyuk, membaca Al-Qur’an, atau tafakur menjadi sulit dilakukan.
Padahal Allah telah menmengingatka
أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
"Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram." (QS. Ar-Ra‘d [13]:28)
Ayat ini menegaskan bahwa kedamaian sejati bukan lahir dari gawai dan popularitas, melainkan dari kedekatan batin dengan Sang Pencipta.
Para pemikir Islam klasik seperti Al-Ghazali telah lama menegaskan bahwa iman harus disertai tazkiyah al-nafs—penyucian jiwa dari sifat tamak, sombong, dan lalai.
Sementara itu, tokoh kontemporer seperti Syekh Yusuf al-Qaradawi menekankan pentingnya tajdīd al-dīn (pembaruan keberagamaan) agar Islam tetap relevan dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan substansi. Dalam konteks Generasi Z, pembaruan ini bisa diwujudkan melalui dakwah digital yang menekankan nilai keseimbangan antara ilmu, akhlak, dan spiritualitas.
Revitalisasi iman bagi Generasi Z tidak dapat dilakukan dengan pendekatan dogmatis semata. Diperlukan model pembinaan spiritual yang kontekstual dan dialogis mengaitkan nilai-nilai iman dengan realitas kehidupan modern.
Misalnya, mengembangkan literasi digital berbasis etika Islam, mentoring spiritual di komunitas daring, hingga konten dakwah kreatif yang menggugah hati. Di sinilah peran lembaga pendidikan, keluarga, dan organisasi keagamaan menjadi sangat strategis dalam membangun generasi beriman yang melek teknologi.
Lebih jauh, revitalisasi iman harus menumbuhkan kesadaran spiritual yang produktif. Artinya, iman bukan hanya dijaga di ruang pribadi, tetapi juga diwujudkan dalam kontribusi sosial, kepedulian terhadap lingkungan, dan integritas di dunia kerja. Generasi Z yang beriman harus menjadi agen perubahan positif, bukan korban perubahan sosial. Iman yang sejati akan memampukan mereka untuk bersikap kritis terhadap arus globalisasi, tanpa kehilangan arah moral dan spiritual.
Pada dasarnya, revitalisasi iman di era disrupsi bukan sekadar proyek moral, melainkan upaya peradaban. Ia menjadi fondasi bagi lahirnya generasi yang tidak hanya cerdas secara digital, tetapi juga tangguh secara spiritual. Seperti firman Allah ﷻ:
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri." (QS. Ar-Ra‘d [13]:11).
Revitalisasi iman berarti mengubah diri agar mampu berdiri tegak di tengah badai disrupsi, menjadi generasi beriman yang adaptif, kritis, dan tetap berpegang pada nilai-nilai ilahi.
Baca Lainnya
Prof. Juanda: Politik Hukum Kepolisian Wajib Berlandaskan UUD 1945 dan Reformasi Harus Sistemik Pasca Putusan MK
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 23 Jam
Sawit, Sungai, dan Hutang Iklim: Mengapa Industri Menjadikan Sumatra Lebih Cepat Kebanjiran
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 3 Hari
Mengajarkan Pelestarian Lingkungan kepada Siswa di Tengah Deforestasi yang Terjadi Secara Sistematis
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 4 Hari
Jeritan di Balik Gerbang Sekolah: Mengapa Kekerasan dan Perundungan Tak Kunjung Padam?
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 5 Hari
Sumatra Tenggelam dalam Kubangan Bencana Negara: Sebuah Orbituari Ekologis
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 8 Hari
Dalam Sunyi, Menemukan Arti Perjuangan
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 16 Hari
Reformasi Kejaksaan di Bawah ST Burhanudin: Perkuat SDM, Ratakan Kinerja, Prioritaskan Hukum Humanis
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 17 Hari
Menjadi yang Terdepan Tanpa Berebut Menjadi yang di Depan
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 18 Hari
Hilang Arah untuk Sejarah: Pentingnya Mengenang Masa Lalu
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 23 Hari
Korupsi dan Jerat Ekosistem Kepemimpinan: Refleksi untuk Keluar dari Jebakan
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 28 Hari
