Sawit, Sungai, dan Hutang Iklim: Mengapa Industri Menjadikan Sumatra Lebih Cepat Kebanjiran

yupan
Kamis, 4 Desember 2025 08:37 WIB
Ilustrasi

Oleh: Ahmad Falih Abdallah Teknik Industri, FTMM Unair

Indonesia memanen jutaan ton minyak sawit setiap tahun, namun bersamaan dengan itu kita ikut memanen banjir, longsor, dan meningkatnya korban jiwa. Industri sawit tidak lagi sekadar isu agronomi atau etika korporasi. Industri ini telah menjadi faktor pengubah hidrologi yang mempersingkat jarak antara curah hujan dan bencana. Data Badan Pusat Statistik Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia memiliki jutaan hektar area perkebunan sawit yang menjadikannya sebagai salah satu aktor lanskap terbesar dalam ekonomi nasional. Luas dan intensitas budidaya yang masif mengubah tutupan lahan dan karakter tanah, sehingga mengurangi daya serap air dan mempercepat limpasan permukaan. Perubahan tutupan dari hutan primer menjadi monokultur memperlemah struktur ekologis kawasan yang sebelumnya memiliki kapasitas perlindungan alami.

Sejak 2022 hingga 2023 tren deforestasi kembali menunjukkan peningkatan. Kajian lembaga independen dan citra satelit yang dihimpun melalui laporan investigasi menunjukkan peningkatan pembukaan hutan untuk kepentingan perkebunan sawit di beberapa wilayah kritis di Sumatra. Pembukaan lahan disertai pembangunan kanal dan praktik drainase intensif pada area gambut. Aktivitas ini mengubah rezim hidrologi dari kondisi resisten menjadi rapuh. Dalam kasus banjir besar di Sumatra baru-baru ini, tim investigasi pemerintah dan jurnalis menemukan bukti berupa potongan kayu dan struktur kanal dalam kawasan konsesi yang mengindikasikan keterlibatan praktik pembalakan ilegal dan pengalihan aliran air yang mempercepat banjir bandang. Pola ini konsisten dalam sejumlah kejadian serupa. Hilangnya vegetasi penahan, pengeringan lahan gambut, dan sistem irigasi buatan menyebabkan air mengalir dengan kecepatan tinggi saat hujan ekstrem, membawa sedimen dalam volume besar dan memicu longsor serta banjir besar di wilayah hilir.

Masalah bertambah rumit karena tata kelola perizinan cenderung mengabaikan peta hidrologi kritis. Kajian Pantau Gambut menunjukkan sekitar empat puluh satu persen HGU kelapa sawit berada di dalam unit hidrologi gambut yang memiliki risiko banjir dan kebakaran ekstrem. Artinya, kebijakan perizinan selama ini sering diberikan pada wilayah yang seharusnya menjadi kawasan lindung dan memiliki fungsi ekologis strategis. Situasi ini memperlihatkan kegagalan tata kelola ruang yang memprioritaskan ekspansi ekonomi dibanding keselamatan ekologis. Langkah negara yang akhir akhir ini mengambil alih sejumlah konsesi besar memberi tekanan politik pada industri sawit namun tidak otomatis menyelesaikan persoalan struktural. Tanpa reformasi hak atas tanah, transparansi izin, dan program restorasi nyata, perubahan kepemilikan tidak menjamin pemulihan fungsi hidrologi.

Permasalahan ini memiliki tiga lapis utama yaitu transformasi fisik lanskap oleh ekspansi industri, kelemahan tata kelola izin dan pengawasan, serta tekanan dari rantai pasok global yang memberi insentif terhadap konversi lahan cepat. Ketiganya saling menopang. Perusahaan membutuhkan efisiensi ekonomi, birokrasi memberikan izin tanpa kajian hidrologi mendalam, dan pasar internasional terus menuntut suplai. Kombinasi itu menciptakan ekosistem risiko yang terakumulasi dan berakhir pada bencana ekologis berulang. Data satelit, laporan organisasi lingkungan, dan statistik resmi memperlihatkan hubungan kausal yang kuat antara degradasi lahan dan meningkatnya frekuensi banjir besar.

Solusi yang dibutuhkan bukan retorika normatif. Moratorium konversi pada kawasan hidrologi kritis dan gambut harus disertai audit independen seluruh perizinan. Lahan yang terbukti berada dalam kawasan lindung hidrologis harus direstorasi. Pemulihan ekosistem dapat dilakukan melalui penutupan kanal, pembasahan ulang lahan gambut, dan reforestasi hulu sungai. Pembiayaan dapat bersumber dari pajak lingkungan kepada perusahaan dan skema pembayaran jasa ekosistem untuk masyarakat lokal. Pengakuan hak atas tanah adat perlu menjadi basis karena bukti global menunjukkan bahwa masyarakat adat terbukti lebih efektif menjaga hutan. Di tingkat rantai pasok, transparansi dan penegakan hukum wajib diterapkan bagi pabrik yang membeli TBS dari lahan ilegal dan perusahaan produk konsumen harus menuntut kepastian bebas deforestasi. Pemerintah perlu mengintegrasikan peta hidrologi dengan perizinan tata ruang sebagai bagian dari penataan ulang perencanaan literasi air yang berbasis ilmu pengetahuan.

Industri sawit memberikan lapangan kerja dan kontribusi besar terhadap perekonomian nasional. Namun biaya eksternalitas yang ditanggung masyarakat kini sangat besar. Kita sedang membayar dengan nyawa, kerusakan infrastruktur, dan masa depan ekosistem yang menopang kehidupan. Jika batas ekologis tidak ditempatkan di atas ekspansi industri, maka pembangunan hari ini hanyalah transaksi yang mengorbankan generasi berikutnya. Bencana bukan datang karena kebetulan. Ia datang sebagai konsekuensi dari sistem yang kita bangun. Reformasi tata kelola ruang, penegakan hukum yang independen, dan pemulihan ekosistem menjadi langkah yang tidak bisa ditawar. Tanpa itu, banjir berikutnya hanya menunggu hujan yang datang tepat waktu.

Baca Lainnya
Dalam Sunyi, Menemukan Arti Perjuangan
Didik Hermawan
  • 0 Suka .
  • 0 Komentar .
  • 16 Hari