Sore di Ujung Jalan Kenangan

Fathan Faris Saputro
Sabtu, 11 Oktober 2025 23:44 WIB
Ilustrasi


Oleh: Fathan Faris Saputro (Koordinator Divisi Pustaka dan Informasi MPID PDM Lamongan)

Sore itu, udara Magetan terasa lembut, membawa aroma tanah basah setelah hujan singkat yang turun sejak pukul tiga. Butiran air masih menetes pelan dari ujung daun jambu di tepi jalan, menciptakan irama halus yang berpadu dengan semilir angin dari arah sawah. Matahari yang condong ke barat menebarkan cahaya oranye keemasan, memantul di genangan air yang mengilap di pinggir aspal. Di ujung Jalan Kenanga, seorang lelaki paruh baya tampak mendorong gerobak kayu sederhana berisi pentol panas yang masih mengepulkan uap, menebar aroma gurih yang menggoda. Namanya Pak Harun — penjual pentol keliling yang telah belasan tahun menjadi bagian dari denyut sore warga kampung itu.

Sejak pukul dua siang, ia sudah memulai rutinitasnya. Dari satu kampung ke kampung lain, dari gang sempit hingga depan sekolah dasar, langkahnya tak pernah berhenti. Setiap kali melintas, suaranya menggema dengan panggilan khas yang akrab di telinga banyak orang, “Pentol, pentol panas! Gurih dan murah!” Anak-anak kecil biasanya berlari menghampiri sambil membawa uang kertas seribu atau dua ribu di genggaman. Ada yang memesan dua tusuk, ada yang hanya sanggup satu. Namun bagi Pak Harun, setiap rupiah yang ia dapat bukan sekadar uang — melainkan hasil dari ketekunan dan doa panjang seorang ayah.

Hari itu, langkahnya sedikit lebih cepat dari biasanya. Ia sempat menatap jam butut di pergelangan tangan kirinya — jarumnya sudah menunjuk pukul tiga lewat tiga puluh. Waktu untuk mengantar Rafi, anak semata wayangnya, ke TPQ hampir tiba.

Pak Harun menghela napas panjang, lalu berhenti di bawah pohon ketapang besar yang menaungi sisi jalan. Ia menutup gerobaknya dengan kain bersih, memastikan uap panas tidak terlalu banyak keluar. Peluh di dahinya ia seka dengan sapu tangan lusuh, lalu memandangi arah rumah kontrakannya yang berada di balik deretan pagar bambu.

Beberapa langkah kemudian, tampaklah rumah sederhana itu. Berdinding papan, beratap genting tua, namun tampak rapi dan bersih. Di depan pintu, Rafi sudah berdiri menunggu dengan pakaian koko putih dan peci kecil yang sedikit miring di kepala. Di tangannya tergenggam buku Iqra’ yang sampulnya mulai usang karena sering dibuka. “Ayah, ayo, nanti ustazahnya marah kalau telat,” ucap Rafi dengan suara lembut dan wajah berseri-seri. Senyumnya polos, matanya bening, seperti cermin dari semangat yang belum tergores kerasnya hidup.

Pak Harun menatap anak itu dengan bangga yang sulit dijelaskan. Di tengah segala keterbatasan, Rafi tumbuh sebagai anak yang sopan, rajin, dan cerdas. “Iya, Nak, Ayah cuma ambil sandal dulu,” jawabnya sambil tersenyum kecil. Setelah itu, ia menggandeng tangan Rafi, melangkah pelan menyusuri gang sempit yang mulai sepi.

Di sepanjang jalan, terdengar suara jangkrik bersahutan dari semak, sementara bau kuah pentol masih melekat di bajunya — berpadu dengan aroma sabun cuci yang samar dari jemuran yang belum diangkat.

Langkah-langkah kecil Rafi di sampingnya terasa seperti irama kebahagiaan yang sederhana. Di setiap pijakan, Pak Harun merasakan getar syukur yang dalam.

Betapa setiap sore baginya bukan sekadar waktu menutup dagangan, tapi juga waktu untuk menyaksikan anaknya tumbuh dalam bimbingan agama. Ia tahu, tak ada warisan lebih berharga dari ilmu dan iman.

Ketika sampai di halaman TPQ, suasana sore terasa damai. Dari dalam, terdengar suara anak-anak melantunkan ayat-ayat pendek dengan nada lembut dan berirama.

Suara itu seperti embusan angin yang menyejukkan hati. Rafi segera berlari kecil menuju pintu, melambaikan tangan sambil menoleh ke arah ayahnya. “Assalamualaikum, Ayah!” serunya riang. Pak Harun membalas dengan lambaian dan senyum hangat. “Belajarlah yang rajin, Nak,” katanya pelan, hampir seperti bisikan doa yang terbang bersama udara sore.

Setelah itu, ia berbalik arah. Langit sudah mulai bergradasi dari jingga ke ungu tua. Gerobaknya masih menunggu di bawah pohon ketapang, seolah menjadi saksi setia setiap langkah perjuangan. Di tengah perjalanan pulang, azan magrib mulai berkumandang dari surau di ujung jalan. Suara muazin menggema lembut, mengisi ruang hati yang kosong. Pak Harun berhenti, menundukkan kepala, lalu menuntun gerobaknya ke tepi jalan.

Ia menunaikan salat di musala kecil di sudut kampung, tempat ia biasa singgah setiap sore. Saat sujud, ia merasakan ketenangan yang tak bisa dibeli. Dalam diam, ia berdoa agar Rafi selalu dijaga, agar rezekinya tak pernah putus, meski sekadar untuk sesuap nasi dan biaya sekolah anaknya.

Usai salat, ia kembali melanjutkan perjalanan. Lampu-lampu rumah mulai menyala, memantul di genangan air yang tersisa di jalan. Angin malam berhembus lembut, membawa aroma rumput basah. Sampai di rumah, ia membuka kain penutup gerobak dan menghitung hasil jualannya. Tak banyak — tapi cukup untuk membeli beras, sedikit tahu tempe, dan mungkin es lilin untuk Rafi esok sore.

Ia menatap gerobak tuanya yang mulai berkarat di bagian roda, lalu tersenyum tipis. “Selama bisa buat Rafi belajar, Ayah nggak apa-apa capek,” gumamnya lirih, seperti berbicara dengan dirinya sendiri.

Dari kejauhan, terdengar suara anak-anak pulang dari TPQ. Di antara mereka, suara Rafi paling mudah dikenali.

Ia sedang membaca doa penutup dengan suara jernih, memecah kesunyian malam yang mulai turun. Pak Harun duduk di kursi bambu di depan rumah, menatap langit yang kini bertabur bintang.

Cahaya lampu dari rumah-rumah tetangga menambah kehangatan suasana. Di dadanya, rasa lelah seolah luruh oleh kedamaian. Ia sadar, hidupnya memang sederhana — namun di balik kesederhanaan itu, tersimpan makna yang besar.

Sore di ujung Jalan Kenanga selalu menjadi penanda tentang cinta, kerja keras, dan harapan. Tentang seorang ayah yang mungkin tak punya banyak harta, tapi punya hati yang tak pernah menyerah demi anaknya.

Di antara aroma pentol yang gurih dan suara mengaji yang merdu, Pak Harun menemukan kebahagiaan yang paling murni: kebahagiaan yang tumbuh dari rasa syukur, ketulusan, dan kasih yang tanpa pamrih.

Dan setiap kali senja datang, ia tahu — di balik lelah yang ia pikul, Tuhan sedang menulis kisah indah yang tak akan hilang ditelan waktu.

Baca Lainnya
Dalam Sunyi, Menemukan Arti Perjuangan
Didik Hermawan
  • 0 Suka .
  • 0 Komentar .
  • 16 Hari