Relasi Laki-Laki dan Perempuan dalam Perspektif Qiraah Mubadalah

Didik Hermawan
Selasa, 12 Agustus 2025 09:43 WIB
Dokumen Pribadi

Oleh: Didik Hermawan, M.Pd
Ketua PC Pemuda Muhammadiyah Pakal Surabaya 

Qiraah Mubadalah adalah sebuah metode penafsiran yang diperkenalkan oleh KH. Faqihuddin Abdul Qadir, yang menekankan prinsip resiprokal dalam memahami teks-teks keagamaan, baik Al-Qur’an maupun hadis. Kata mubadalah berasal dari bahasa Arab مبادلة yang berarti “saling”, “timbal balik”. Dalam kerangka ini, setiap perintah, larangan, atau anjuran yang ditujukan kepada salah satu jenis kelamin dapat juga berlaku bagi jenis kelamin lainnya, kecuali terdapat dalil yang secara eksplisit membedakan.

Pendekatan ini lahir sebagai respons terhadap kecenderungan pembacaan teks keagamaan yang bias gender, di mana penafsiran sering berorientasi pada kepentingan laki-laki dan memposisikan perempuan sebagai pihak sekunder. Padahal, secara normatif, Islam mengajarkan keadilan, kemitraan, dan kesalingan dalam relasi laki-laki dan perempuan. Qiraah Mubadalah berupaya mengembalikan esensi ajaran Islam tersebut melalui tafsir yang lebih setara dan humanis.Salah satu contoh penerapan Qiraah Mubadalah dapat dilihat pada firman Allah dalam QS. An-Nisa ayat 19:
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
"Dan bergaullah dengan mereka (istri-istri) secara patut.”

Dalam paradigma konservatif, ayat ini dipahami sebagai perintah kepada suami untuk memperlakukan istri dengan baik. Namun, melalui Qiraah Mubadalah, perintah ini dipahami berlaku timbal balik: istri pun berkewajiban memperlakukan suami dengan ma‘rūf. Dengan demikian, prinsip akhlak mulia dalam rumah tangga menjadi kewajiban bersama, bukan monopoli salah satu pihak.

Hal serupa juga ditemukan dalam hadis Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh al-Tirmiżī:
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku.” (HR. al-Tirmiżī).

Hadis ini secara umum ditujukan kepada laki-laki, namun Qiraah Mubadalah menafsirkannya secara resiprokal: perempuan juga dituntut untuk berbuat baik kepada keluarganya, termasuk kepada suaminya. Prinsip kesalingan ini memastikan bahwa ajaran Nabi menciptakan harmoni, bukan dominasi.

Prinsip mubadalah juga ditegaskan dalam QS. al-Naḥ ayat 97, yang menyatakan kesetaraan pahala antara laki-laki dan perempuan:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً
 “Barangsiapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan, sedangkan ia beriman, maka sungguh akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.”

Ayat ini secara eksplisit menegaskan bahwa keberkahan hidup dan ganjaran amal saleh tidak dibedakan berdasarkan jenis kelamin, melainkan berdasarkan iman dan kualitas amal.

Dalam rana praksis, Qiraah Mubadalah mendorong pembagian peran yang fleksibel dan setara di ranah domestik maupun publik. Pekerjaan rumah tangga tidak semata-mata menjadi kewajiban perempuan, sebagaimana bekerja di luar rumah tidak semata-mata tanggung jawab laki-laki. Dengan prinsip kesalingan, beban dan tanggung jawab dapat dibagi secara proporsional sehingga tercipta keadilan dan keharmonisan.

Dengan demikian, Qiraah Mubadalah bukan hanya sebuah metode tafsir, melainkan paradigma etis yang membangun relasi kemitraan sejati antara laki-laki dan perempuan. Pendekatan ini menegaskan bahwa ajaran Islam menghendaki hubungan yang dilandasi keadilan, kasih sayang, dan penghormatan timbal balik, sehingga tercipta kehidupan yang penuh rahmat bagi seluruh umat manusia.

Baca Lainnya
Pemuda Muhammadiyah Gubeng Gelar Gerakan Shubuh Berjamaah dan Sharing Session
Mochammad Farid Syahrizal
  • 0 Suka .
  • 0 Komentar .
  • 3 Hari
Jangan Berputus Asa Dari Rahmat Allah SWT
yupan
  • 0 Suka .
  • 0 Komentar .
  • 20 Hari