Ritual dan Rakyat: Menutup FKY 2025, Menyulam Ulang Makna Kebudayaan

Any Sayekti
Minggu, 19 Oktober 2025 00:31 WIB
Flashmob sebagai penanda ditutupnya FKY 2025 (Foto Any)

Yogyakarta, eNews — Sabtu Sore (18/9) di Lapangan Logandeng, Playen, terasa berbeda. Ratusan orang berkerumun di tengah lapangan, sebagian membawa sesaji, sebagian lagi menyiapkan alat musik gamelan. Di ujung barisan, sehelai janur hijau menggantung di antara tiang bambu—tanda dimulainya Ritual Midhang Pasar Kawak, prosesi sakral yang menjadi penutup Festival Kebudayaan Yogyakarta (FKY) 2025.

Tepat saat matahari condong ke barat, Asisten Sekretaris Daerah DIY Bidang Administrasi Umum, Aria Nugrahadi, menarik janur itu perlahan. Diiringi suara gamelan dan doa bersama, masyarakat bersorak kecil, menandai berakhirnya salah satu festival budaya terbesar di Daerah Istimewa Yogyakarta.

“Kebudayaan hidup karena rakyatnya. FKY bukan sekadar panggung seni, tetapi ruang tumbuh bersama,” kata Aria dalam sambutannya.

FKY yang telah berlangsung sejak 1980-an kini memasuki edisi ke-36. Tahun ini, dengan tema “Adoh Ratu Cedak Watu”, festival menyoroti jarak antara kekuasaan dan akar kebudayaan rakyat. Tema tersebut terasa relevan di tengah gempuran modernitas yang sering kali menjauhkan masyarakat dari identitas kulturalnya.

Direktur FKY 2025, Basundara Murba Anggana, menjelaskan bahwa pelibatan masyarakat menjadi ciri paling menonjol dalam penyelenggaraan kali ini. Tidak hanya seniman profesional, warga Gunungkidul pun mengambil peran aktif, mulai dari panitia, pengisi acara, hingga pelaku UMKM yang membuka lapak di sekitar lokasi.

“Keterlibatan masyarakat meningkat signifikan. Mereka bukan hanya penonton, tapi pelaku aktif festival ini,” ujar Anggana.

Menurutnya, transformasi dari Festival Kesenian Yogyakarta menjadi Festival Kebudayaan Yogyakarta membawa pendekatan baru: tidak hanya menampilkan karya seni, tetapi juga menghidupkan nilai-nilai lokal dalam keseharian. “Dana Keistimewaan yang menopang FKY ini semestinya memang kembali ke masyarakat dalam bentuk kegiatan yang memberi ruang partisipasi,” tambahnya.

FKY 2025 pun menjadi wadah dialog antara tradisi dan realitas kontemporer. Seni pertunjukan, pameran, dan lokakarya yang diadakan sejak awal bulan menampilkan interaksi lintas disiplin antara seniman, warga, dan generas
Bagi warga Logandeng, menjadi tuan rumah penutupan FKY 2025 merupakan kehormatan tersendiri. Sutarmi (48), warga yang ikut menyiapkan kenduri pembuka acara, mengaku senang karena kampungnya menjadi bagian dari sejarah budaya Yogyakarta.

“Dulu kami cuma nonton FKY di kota. Sekarang malah diadakan di sini, dan kami ikut nyiapke semua. Rasane ora mung dadi penonton, tapi dadi bagian saka budaya dhewe,” ujarnya sambil tersenyum.

FKY juga menggerakkan ekonomi warga. Deretan stan kuliner dan produk kerajinan lokal ramai dikunjungi. Rika Dewanti (30), pelaku UMKM batik asal Playen, mengatakan omsetnya meningkat drastanya. Tapi lebih penting lagi, orang dari luar daerah mulai mengenal batik khas Gunungkidul,” katanya.

Keberhasilan ini menunjukkan bahwa kebudayaan tidak bisa dilepaskan dari dimensi ekonomi rakyat. FKY 2025 menjadi contoh konkret bagaimana kegiatan berbasis budaya mampu menjadi ekosistem yang berdaya guna dan berkelanjutan.

Di tengah gegap gempita festival, generasi muda juga hadir sebagai bagian penting. Salah satunya Rian Nugroho (22), mahasiswa seni yang menjadi relawan dokumentasi acara.

 “Selama ikut FKY, saya baru sadar kalau budaya itu bukan cuma tarian atau pameran, tapi cara berpikir dan hidup bersama. Kita belajar langsung dari warga,” tuturnya.

Keterlibatan anak muda seperti Rian menjadi tanda bahwa kebudayaan Yogyakarta masih memiliki ruang regenerasi yang kuat. Di tengah dunia digital yang serba cepat, FKY menjadi ruang di mana tradisi bisa bertemu inovasi tanpa kehilangan ruhnya.

Penarikan janur di penghujung acara bukan sekadar simbol penutup, melainkan doa untuk keberlanjutan. Setelah prosesi usai, para seniman menanam bibit pohon elo di tepi lapangan — sebuah pesan ekologis bahwa menjaga budaya berarti juga menjaga alam.

Aria Nugrahadi menutup pidatonya dengan harapan sederhana namun bermakna dalam:

“Semoga FKY tidak hanya menjadi festival tahunan, tetapi menjadi gerakan kebudayaan yang tumbuh dari tanah, berakar di hati masyarakat.”

Saat malam turun di Logandeng, lentera-lentera bambu mulai dinyalakan. Di antara cahaya redup dan senyum warga, terasa bahwa FKY 2025 telah menuntaskan misinya — bukan hanya menampilkan budaya, tetapi menghidupkan kembali semangatnya.(Sayekti)

fky 2025 Festival Kebudayaan budaya Yogyakarta
Baca Lainnya