Gemerlap Dunia Menipu
Fathan Faris Saputro
Jumat, 4 Oktober 2024 16:16 WIB
Oleh: Fathan Faris Saputro
Anggota MPI PCM Solokuro
Di sebuah kota yang selalu sibuk, hiduplah seorang pemuda bernama Arya. Ia tumbuh dengan keyakinan bahwa kesuksesan diukur dari harta dan kemewahan. Setiap hari, ia terpukau oleh gemerlap lampu kota, gedung-gedung megah, dan mobil-mobil mewah yang melintas di depannya. Baginya, dunia tampak seperti surga yang penuh janji akan kebahagiaan.
Arya bekerja keras, siang dan malam, untuk mengejar impiannya. Karirnya perlahan menanjak, dan ia mulai merasakan kehidupan yang selama ini ia impikan. Rumah besar, kendaraan mewah, dan pesta-pesta mewah menjadi bagian dari kesehariannya. Namun, di balik senyum lebar di wajahnya, ada kehampaan yang mulai merayap di hatinya.
Pada suatu malam, Arya diundang ke sebuah pesta yang diadakan di gedung tertinggi kota. Dari puncak gedung itu, ia melihat panorama kota yang gemerlap dan indah. Namun, di tengah keramaian dan musik yang menggelegar, ia merasa asing. Pemandangan yang dulu ia kagumi kini tampak kosong dan hampa.
Di sudut ruangan, Arya bertemu dengan seorang pria tua yang tampak berbeda dari tamu lainnya. Pria itu berpakaian sederhana dan duduk tenang di tengah keramaian. Ketika Arya mendekat, pria itu tersenyum dan berkata, “Apa yang kau cari, anak muda?” Arya terdiam, merasa bingung dengan pertanyaan sederhana itu.
Sejak malam itu, Arya mulai memikirkan kata-kata pria tua tersebut. Ia mulai menyadari bahwa segala yang ia kejar selama ini hanyalah ilusi. Kekayaan dan kemewahan yang dulu ia anggap sebagai kebahagiaan sejati ternyata hanya fatamorgana. Dunia yang gemerlap itu, meski memikat, hanya menipu hati yang haus akan makna sejati.
Hari demi hari, Arya mulai menjauh dari kehidupan mewah yang dulu membanggakannya. Ia mencari ketenangan dalam hal-hal sederhana—waktu bersama keluarga, percakapan mendalam dengan teman-teman, dan momen sunyi di alam. Dalam keheningan, ia menemukan kedamaian yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Kebahagiaan, ternyata, bukan berasal dari luar, melainkan dari dalam dirinya.
Meski dunia masih berkilau dengan janji-janji palsu, Arya kini tahu bahwa ia tak lagi tergoda. Ia memahami bahwa hidup adalah tentang menemukan makna, bukan sekadar mengejar kilauan materi. Pria tua di pesta itu mengajarkan pelajaran berharga: gemerlap dunia hanyalah tipuan bagi mereka yang mencari kepuasan di tempat yang salah. Kini, Arya menjalani hidup dengan tenang, menikmati setiap detik dengan penuh syukur dan kebijaksanaan.
Waktu terus berlalu, dan perubahan dalam diri Arya semakin kentara. Teman-teman yang dulu mengaguminya karena kekayaannya mulai menjauh. Mereka tak mengerti mengapa Arya, yang dulunya ambisius, kini tampak lebih tenang dan sederhana. Bagi mereka, kehidupan tanpa kemewahan adalah hal yang tak terbayangkan.
Suatu hari, Arya bertemu dengan seorang teman lama, Bima, yang masih terjebak dalam dunia gemerlap.
Bima, dengan penuh semangat, menceritakan tentang bisnis baru yang menjanjikan kekayaan besar. “Kau harus bergabung, Arya. Ini kesempatan yang tak boleh dilewatkan!” katanya dengan antusias. Namun, Arya hanya tersenyum tenang, tak lagi tertarik dengan janji-janji kekayaan instan.
Bima, yang melihat perubahan Arya, bertanya dengan nada heran, “Mengapa kau jadi seperti ini? Bukankah dulu kau sangat berambisi?” Arya menjawab dengan bijak, “Aku dulu mengejar ilusi, Bima. Gemerlap dunia yang kita kejar tak pernah benar-benar memberi kebahagiaan. Itu hanya mengisi kekosongan sementara, tapi tidak pernah cukup.”
Setelah perbincangan itu, Bima terdiam lama. Ia mulai merenungkan kata-kata Arya, seolah merasakan kekosongan yang sama di dalam dirinya. Arya tahu bahwa setiap orang harus menemukan jalannya sendiri. Perubahan tidak bisa dipaksakan, tetapi harus datang dari kesadaran dalam diri. Ia hanya berharap bahwa suatu hari, Bima akan melihat dunia dengan cara yang berbeda, seperti dirinya sekarang.
Arya kini mengisi hari-harinya dengan hal-hal yang lebih bermakna. Ia mendalami hobi yang dulu ia abaikan—membaca, berkebun, dan membantu orang-orang di sekitarnya. Ia menemukan kebahagiaan dalam memberi, bukan menerima.
Hidupnya menjadi lebih sederhana, namun lebih kaya dengan makna. Setiap hari, ia merasa lebih dekat dengan dirinya sendiri, lebih selaras dengan alam dan kehidupan yang sesungguhnya.
Pada akhirnya, Arya memahami bahwa dunia akan selalu menawarkan ilusi gemerlap.
Namun, di balik semua itu, ada kebenaran yang lebih dalam, tersembunyi di balik kesederhanaan. Kebahagiaan sejati bukanlah sesuatu yang bisa dibeli atau dicapai dengan ambisi duniawi. Itu adalah sesuatu yang harus ditemukan di dalam hati, di tempat yang paling sunyi. Dan di sana, Arya akhirnya menemukan damai yang selama ini ia cari.
Baca Lainnya
Peran Strategis Ibu dalam Membangun Karakter dan Keadilan Sosial
- 1 Suka .
- 0 Komentar .
- 3 Hari
Adab-adab yang Perlu Diketahui Umat Islam Ketika Keluar Rumah
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 4 Hari
Cara Cepat Belajar Matematika untuk Anak-anak Jalanan dan Terlantar
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 8 Hari
Penetapan Kepala Daerah Terpilih dalam Pemilihan Kepala Daerah
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 9 Hari
Refleksi Akhir Tahun
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 9 Hari
Adab Belajar Di Sekolah dan Di Rumah
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 10 Hari
Permasalahan Hukum dalam Pemilu dan Pilkada, Golput Bisakah Dipidana ?
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 18 Hari
Yang Harus Dilakukan Ketika Bangun Tidur
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 20 Hari
Pentingnya Saling Menghargai
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 21 Hari
Dinasti Politik dan Rekrutmen Politik di Indonesia
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 24 Hari