Ekonomi Kita Bukan Sekadar Angka: Saatnya Menggerakkan Rasa dan Rakyat

Nashrul Mu'minin
Selasa, 8 Juli 2025 06:07 WIB
Ekonomi Kita Bukan Sekadar Angka: Saatnya Menggerakkan Rasa dan Rakyat

Penulis: Nashrul Mu’minin – Content Writer, Yogyakarta

Ekonomi Indonesia saat ini bukan sedang menunggu keajaiban. Ia sedang menunggu keputusan kolektif: apakah kita terus berjalan dengan logika anggaran yang monoton, atau kita berani memantik perubahan lewat pendekatan yang lebih progresif, humanis, dan menyentuh denyut rakyat. Angka pertumbuhan memang naik-turun, tapi kehidupan di pasar tradisional, pabrik kecil, warung kaki lima, dan UMKM tidak bisa hanya dinilai lewat angka-angka indikator makro. Di sinilah letak kekeliruan berulang: menjadikan ekonomi sebagai medan statistik, bukan sebagai ruang kehidupan nyata manusia.

Ketika pertumbuhan ekonomi Indonesia diklaim membaik, yang terasa di lapangan justru kegamangan. Harga kebutuhan pokok naik, lapangan kerja informal makin padat, sementara akses terhadap pembiayaan dan perlindungan sosial masih timpang. Pemerintah sudah bicara soal stimulus dan sinergi, namun realisasi di tingkat bawah sering tak lebih dari formalitas administrasi. Apa gunanya program pemulihan ekonomi jika hanya menjangkau pelaku usaha besar dan birokrasi, tapi gagal menyentuh petani kecil, nelayan, penjahit rumahan, dan pelaku ekonomi mikro di desa-desa?

Stimulasi ekonomi semestinya tidak berhenti di intervensi fiskal. Ia harus menembus sistem distribusi, teknologi, hingga kepercayaan sosial. Misalnya, program digitalisasi UMKM sering terdengar megah, namun kenyataannya banyak pelaku UMKM di daerah tidak tahu cara menggunakan platform digital untuk pemasaran. Mereka tersandung pada literasi, jaringan, bahkan perangkat. Stimulus finansial yang diberikan bank atau pemerintah daerah pun lebih sering berakhir ke pelaku usaha yang sudah punya modal relasi dan kekuatan birokrasi. Maka ketimpangan pun beranak-pinak, dan krisis jadi struktur, bukan lagi situasi.

Sinergi antar-lembaga, antar-pemerintah pusat dan daerah, serta antar-kementerian juga belum terasa nyata. Kita masih melihat ego sektoral yang justru menghambat efektivitas distribusi bantuan dan program ekonomi. Apalagi di tahun politik, program ekonomi sering jadi komoditas kampanye, bukan komitmen kebijakan. Masyarakat hanya dijadikan alat statistik dalam laporan lembaga negara, bukan subjek aktif dari pemulihan dan pembangunan ekonomi itu sendiri. Ketika rakyat hanya jadi "obyek", maka sinergi tinggal jargon.

Yang luput dari pembicaraan teknokratik adalah pentingnya menggerakkan “rasa” dalam kebijakan ekonomi. Ekonomi yang adil lahir dari empati. Bukan hanya dari neraca dan grafik. Ketika rakyat susah, tugas negara bukan sekadar mencatat, melainkan hadir. Bukan lewat spanduk sosialisasi, tapi lewat pelayanan publik yang manusiawi, murah, dan mudah dijangkau. Mengapa proses perizinan usaha mikro masih harus berbelit dan panjang? Mengapa kartu tani atau bantuan produktif sering datang terlambat? Di sinilah sebenarnya stimulasi dan sinergi diuji: bukan pada perencanaan, melainkan pada keberpihakan nyata kepada rakyat kecil.

Ekonomi yang memihak pada rakyat adalah ekonomi yang berani menolak logika pasar yang serba kompetitif tanpa batas. Kita butuh logika keadilan distributif. Negara mesti memastikan bahwa setiap rupiah dari APBN bukan hanya jatuh ke pembangunan infrastruktur, tetapi juga ke pembangunan manusia. Pendidikan vokasi, jaminan kesehatan, dana desa yang transparan, hingga perlindungan bagi buruh informal harus ditata dengan lebih terstruktur dan menyentuh keadilan sosial. Karena pada akhirnya, yang menyelamatkan bangsa ini bukanlah proyek mercusuar, tapi jaringan solidaritas sosial dan daya hidup masyarakat akar rumput.

Ekonomi Indonesia masih punya harapan. Tapi bukan harapan yang ditulis di atas kertas kerja, melainkan harapan yang dikelola oleh kepemimpinan yang punya kepekaan. Stimulasi tanpa kejujuran akan jadi beban. Sinergi tanpa keberanian mengambil risiko hanya akan jadi pertemuan formal yang membosankan. Maka mari belajar dari rakyat kecil yang terus bekerja keras meski tanpa jaminan apa pun: mereka tidak menunggu sinyal pemerintah untuk bangkit. Tapi mereka perlu negara yang hadir untuk melindungi mereka ketika gagal, bukan hanya memuji mereka saat sukses.

Ekonomi bukan sekadar angka. Ia adalah kehidupan. Maka tugas kita bukan hanya mengelola APBN, melainkan menjaga marwah kemanusiaan yang tak boleh hancur di tengah gelombang neoliberalisme dan ketimpangan. Sudah cukup lama kita terjebak dalam rutinitas kebijakan yang datar. Kini saatnya ekonomi dibangunkan kembali dari tidur panjangnya: dengan rasa, dengan keberanian, dan dengan komitmen untuk tak meninggalkan satu orang pun di belakang.

nashrul mu'minin content writer yogyakarta
Baca Lainnya
Kalau Dikit-Dikit Tersinggung, Kapan Senangnya?
Fathan Faris Saputro
  • 0 Suka .
  • 0 Komentar .
  • 26 Hari
Alghorethicts: Etika untuk Otak Buatan di Era AI
M Arif'an
  • 0 Suka .
  • 0 Komentar .
  • 1 Bulan
Pelantikan Bupati dan Wakil Kabupaten Serang 
M Arif'an
  • 0 Suka .
  • 0 Komentar .
  • 1 Bulan