Ketika Azan Magrib Berkumandang

Fathan Faris Saputro
Selasa, 4 Maret 2025 21:29 WIB
Ilustrasi


Oleh: Fathan Faris Saputro (Penulis Buku Pelukan Ramadan)

Langit mulai meredup, menyisakan semburat jingga di ufuk barat. Di sepanjang jalan kecil menuju masjid, langkah-langkah tergesa terdengar, seakan mengikuti ritme kesabaran yang telah diuji sejak fajar menyingsing.

Udara sore yang membawa aroma khas Ramadan menguar dari rumah-rumah yang berjajar di pinggir jalan. Harum semerbak kolak pisang dan gorengan menyatu dengan semilir angin yang menyapu dedaunan.

Di sudut sebuah rumah sederhana, Dafa, seorang bocah berusia sembilan tahun, duduk dengan penuh harap di dekat meja makan. Matanya tak lepas dari jam dinding, menunggu detik-detik menjelang azan magrib. Sejak siang, ibunya telah sibuk menyiapkan hidangan berbuka, sementara ayahnya baru saja pulang dari masjid setelah menunaikan salat asar berjamaah.

Ramadan kali ini terasa lebih istimewa bagi Dafa, karena ini pertama kalinya ia bertekad untuk berpuasa penuh.
"Ibu, berapa menit lagi?" tanyanya dengan suara penuh antusias, meskipun perutnya mulai meronta.
Ibunya tersenyum, mengusap kepalanya dengan lembut. "Sebentar lagi, Nak. Sabar itu bagian dari ibadah."
Dafa mengangguk, meskipun dalam hati ia merasa waktu berjalan begitu lambat.

Di luar, suara anak-anak lain bercengkerama, menunggu waktu berbuka dengan berbagai cara. Ada yang berlarian di gang kecil, ada pula yang duduk berselonjor di serambi rumah sambil bermain congklak.

Ramadan bagi mereka bukan hanya tentang menahan lapar dan dahaga, tetapi juga tentang kebersamaan dan kehangatan.
Beberapa menit sebelum azan berkumandang, Dafa dan keluarganya telah duduk rapi di depan hidangan berbuka.

Di atas meja, tersaji teh manis hangat, sepiring kurma, dan semangkuk kolak yang masih mengepul. Ayahnya, dengan suara lembut, mengingatkan, "Jangan lupa berdoa sebelum berbuka, ya. Minta yang terbaik kepada Allah."

Saat suara azan pertama kali menggema dari masjid terdekat, Dafa merasakan kelegaan luar biasa. Ia menengadahkan tangan, mengucapkan doa berbuka puasa seperti yang diajarkan ayahnya.

Satu butir kurma pertama menyentuh lidahnya, manisnya terasa lebih dari sekadar rasa—ia adalah hadiah atas kesabaran, keteguhan, dan perjuangannya hari ini.

Di luar, suasana Ramadan semakin terasa. Lampu-lampu jalan mulai menyala, menambah kehangatan di antara deretan rumah yang ramai dengan suara tawa dan obrolan keluarga.

Di kejauhan, anak-anak berlarian menuju masjid, bersiap menunaikan salat magrib. Ramadan, dengan segala kesyahduannya, kembali menghadirkan ketenangan yang sulit dilukiskan dengan kata-kata.
Dafa tersenyum puas. Hari ini ia berhasil berpuasa penuh. Di benaknya, satu tekad terpatri: esok ia akan kembali mengulanginya, menyambut Ramadan dengan hati yang lebih kuat dan semangat yang lebih besar.

 

Baca Lainnya
Kalau Dikit-Dikit Tersinggung, Kapan Senangnya?
Fathan Faris Saputro
  • 0 Suka .
  • 0 Komentar .
  • 22 Hari
Alghorethicts: Etika untuk Otak Buatan di Era AI
M Arif'an
  • 0 Suka .
  • 0 Komentar .
  • 1 Bulan
Pelantikan Bupati dan Wakil Kabupaten Serang 
M Arif'an
  • 0 Suka .
  • 0 Komentar .
  • 1 Bulan