Tabah Saat Terpuruk
Fathan Faris Saputro
Minggu, 22 September 2024 09:59 WIB

Oleh: Fathan Faris Saputro Anggota MPI PCM Solokuro
Di bawah jembatan besar yang membentang di tengah kota, seorang penjual kangkung bernama Pak Budi menghabiskan malam-malamnya. Kehidupan yang keras memaksanya meninggalkan rumah kontrakan yang tak lagi mampu ia bayar.
Setiap hari, ia berjalan menyusuri pasar-pasar kecil dengan keranjang kangkung di punggungnya, berharap dagangannya habis sebelum senja tiba. Namun, di balik senyum yang ia lemparkan pada para pembeli, tersembunyi rasa lelah dan kesedihan yang mendalam.
Pak Budi dulunya memiliki kehidupan yang lebih baik. Ia dan keluarganya tinggal di sebuah rumah sederhana, namun nyaman, di pinggiran kota. Namun, ketika usaha kecil-kecilan yang ia bangun mulai merugi, perlahan semuanya berubah.
Istrinya meninggalkannya karena tidak tahan dengan kondisi yang semakin sulit, dan sejak saat itu, Pak Budi berjuang sendirian.
Setiap malam, setelah berjualan, Pak Budi kembali ke tempat istirahatnya di bawah kolong jembatan yang gelap dan lembap.
Tikar lusuh dan selimut tipis menjadi satu-satunya pelindung dari dinginnya malam. Kadang, suara klakson kendaraan di atas jembatan membangunkannya dari tidur, tapi ia tak pernah mengeluh. Baginya, jembatan itu bukan hanya tempat berlindung, tapi juga simbol perjuangan yang tak berkesudahan.
Walau hidup di bawah jembatan, Pak Budi selalu menjaga semangatnya. Setiap pagi, ia bangun dengan harapan baru, meski dagangannya tak selalu laku banyak. Di setiap langkahnya menjajakan kangkung, ia terus mengingatkan dirinya bahwa semua kesulitan ini hanyalah bagian dari perjalanan hidup.
Ia percaya bahwa ketabahan adalah kunci untuk bangkit, meski seakan tak ada jalan keluar dari keterpurukan.
Suatu hari, di tengah terik matahari yang membakar, seorang ibu muda menghampiri Pak Budi untuk membeli kangkung. Sambil menyerahkan uang, ibu itu berucap, “Semoga rezekimu lancar, Pak.” Kata-kata sederhana itu menghangatkan hati Pak Budi.
Ia tersenyum, merasa sedikit beban hidupnya terangkat, meski hanya sejenak.
Malam itu, saat berbaring di kolong jembatan, Pak Budi merenung tentang hidupnya. Ia tahu, ujian ini tidak akan berakhir dengan cepat. Tapi setiap hari, dengan ketabahan yang ia pelihara, ia merasa sedikit lebih kuat dari hari sebelumnya.
Di tengah keterpurukan, Pak Budi tetap tabah, yakin bahwa suatu hari, sinar terang akan datang menghampirinya.
Keesokan paginya, Pak Budi kembali memulai harinya seperti biasa. Dengan tubuh yang lelah namun hati yang tetap teguh, ia mengangkat keranjang kangkungnya dan melangkah ke pasar.
Hawa dingin yang masih menyelimuti pagi itu seakan tidak mampu menurunkan semangatnya. Ia tahu, setiap hari adalah kesempatan baru, dan meski terkadang pembeli sepi, ia tetap bersyukur karena masih bisa bertahan.
Di tengah perjalanan menuju pasar, ia bertemu dengan seorang pemilik warung yang biasa membeli dagangannya. "Budi, kamu tabah sekali. Orang lain mungkin sudah menyerah," ujar si pemilik warung.
Pak Budi hanya tersenyum, meski dalam hati ia juga sering merasa lelah. Namun ia sadar, ketabahan inilah yang membuatnya tetap bertahan, meskipun hidupnya penuh cobaan.
Suatu ketika, seorang pria paruh baya menghampiri lapak kangkung Pak Budi. Pria itu memuji kesegaran sayuran yang dijual, lalu mulai bertanya tentang kehidupan Pak Budi. Dengan tenang, Pak Budi menceritakan bagaimana hidupnya berubah sejak ia kehilangan segalanya.
Mendengar cerita itu, pria tersebut merasa terinspirasi dan memberikan tawaran kepada Pak Budi untuk memasok sayuran ke sebuah restoran kecil.
Bagi Pak Budi, tawaran itu adalah secercah harapan di tengah gelapnya kehidupan. Meskipun tidak langsung mengubah segalanya, kesempatan tersebut memberi Pak Budi alasan untuk terus berjuang. Ia mulai memasok kangkung ke restoran tersebut setiap pekan, dan penghasilannya perlahan meningkat.
Di tengah dinginnya kolong jembatan, Pak Budi kini tidur dengan hati yang sedikit lebih tenang, meski perjuangannya belum usai.
Hari demi hari, Pak Budi mulai merasakan perubahan dalam hidupnya. Meski ia masih tidur di kolong jembatan, setidaknya ada sedikit kepastian dalam pendapatannya.
Setiap kali ia mengantar kangkung ke restoran, senyum pelanggan yang menyukai sayurannya menjadi penghibur yang tak ternilai. Dengan ketabahan yang terus ia pupuk, Pak Budi mulai melihat secercah cahaya di ujung jalan panjang yang penuh kesulitan ini.
Pak Budi belajar bahwa meski hidup tak selalu mudah, ketabahan adalah pelita yang menerangi jalan saat segalanya tampak gelap. Meski ia masih terpuruk di antara kerasnya kehidupan kota, ia tahu bahwa kesulitan ini bukanlah akhir dari segalanya.
Hari-hari terus berjalan, dan dengan setiap langkah yang diiringi ketabahan, Pak Budi yakin bahwa suatu hari ia akan bangkit, mengatasi keterpurukan yang telah lama mengungkungnya.
Baca Lainnya
Ekonomi Kita Bukan Sekadar Angka: Saatnya Menggerakkan Rasa dan Rakyat
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 8 Hari
Kalau Dikit-Dikit Tersinggung, Kapan Senangnya?
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 1 Bulan
Menyongsong Agentic AI: Peluang dan Tanggung Jawab di Era Baru Kecerdasan Buatan
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 1 Bulan
Hari Lahir Pancasila, PCPM Semampir Serukan Peran Pemuda sebagai Penjaga Nilai Kebangsaan
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 1 Bulan
Kebohongan Publik Ayam Goreng Non Halal Termasuk Kejahatan Kuliner
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 1 Bulan
Alghorethicts: Etika untuk Otak Buatan di Era AI
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 1 Bulan
Nabi Ibrahim AS Mencari Tuhan Menginspirasi Lahirnya Strategi Pembelajaran Penemuan
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 1 Bulan
Pelantikan Bupati dan Wakil Kabupaten Serang
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 1 Bulan
Deep Learning dalam Perspektif Al-Quran dan Hadits
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 1 Bulan
Dari Penguasa ke Mitra: Transformasi Peran Pemerintah dalam 25 Tahun Reformasi
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 1 Bulan