Aku, Kopi, dan Cerita yang Tak Pernah Selesai

Fathan Faris Saputro
Kamis, 31 Juli 2025 22:47 WIB
Dokumen Pribadi

 

Oleh: Fathan Faris Saputro (Penulis buku Kilau Senja di Kota Soto)

Dalam hidup, ada banyak hal yang tak pernah benar-benar selesai. Ada doa yang masih menggantung di langit malam, harapan yang belum juga terwujud, dan perjalanan ruhani yang terus berlanjut hingga ajal menjemput. 

Di antara semua itu, aku hanya manusia biasa, yang mencoba merangkai makna lewat tulisan, ditemani secangkir kopi dan ketenangan hati yang kupinta dalam sujud-sujud panjangku.

Kopi bukan sekadar minuman bagiku. Ia adalah teman dalam perenungan, penyerta di sepertiga malam, dan pengantar saat pikiran mencoba menafsirkan hikmah dari segala kejadian. Tak jarang, dalam sunyi yang lembut, aku menyeduh kopi sambil membuka mushaf, berharap ada ayat yang menguatkan hati dan mengilhami tulisan.

Kupikir, ini bagian dari nikmat yang harus disyukuri. Sebagaimana Allah berfirman:
"Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak akan mampu menghitungnya" (QS. Ibrahim: 34).
Maka, aku memilih untuk tak sekadar menyeruputnya, tapi menjadikannya wasilah untuk menghadirkan ide dan menjaga semangat dalam menulis sesuatu yang lebih bermakna.

Aku menulis opini karena aku ingin bersuara tentang kebenaran. Aku menulis berita karena aku ingin mencatat fakta, menjadi saksi zaman. Dan aku menulis buku karena aku ingin meninggalkan warisan ilmu, walau hanya setetes dari lautan hikmah Allah.

Namun, tak semua tulisan mudah dituntaskan. Kadang aku harus menahan diri, menghindari ketergesaan. Karena aku tahu, setiap kata yang kutulis akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Menulis bukan semata-mata menuangkan isi kepala, tapi juga menjaga adab dan niat.

"Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir." (QS. Qaf: 18)
Maka, ketika tulisanku tak kunjung selesai, bisa jadi Allah sedang mengajarkanku untuk bersabar, memperbaiki niat, atau menunggu waktu yang tepat agar tulisan itu memberi manfaat, bukan hanya wacana kosong tanpa ruh.

Seringkali, inspirasi datang bukan karena aku hebat, tapi karena Allah lembut menggerakkan hatiku. Di antara tegukan kopi dan detik-detik yang sepi, aku membuka buku, membaca ayat, atau mengulang-ulang doa. 

Di situlah, kalimat-kalimat mulai mengalir. Kadang tentang keadilan, tentang cinta dalam koridor syariat, atau tentang perjuangan yang sepi dari tepuk tangan tapi penuh nilai di sisi Allah.

Aku belajar bahwa menulis bukan hanya perkara gaya bahasa, tapi juga tentang kejujuran hati dan keikhlasan. Sebab Rasulullah ﷺ bersabda:
"Barang siapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia mendapatkan pahala seperti orang yang mengerjakannya." (HR. Muslim)
Maka, jika ada satu kalimat dalam tulisanku yang bisa menginspirasi kebaikan, semoga itu menjadi amal jariyah yang terus mengalir, meski aku tak lagi di dunia.

Hidup ini hanyalah perjalanan singkat menuju negeri abadi. Dan setiap tulisan yang kutinggalkan adalah bekal kecil untuk dipertanggungjawabkan. 

Maka wajar jika tak semua cerita selesai. Karena sesungguhnya, kita semua sedang menulis buku kehidupan kita sendiri—yang halaman akhirnya baru akan tertulis ketika ajal datang menjemput.

Dan sungguh, aku tak ingin menulis untuk mencari pujian. Aku ingin tulisanku menjadi bentuk syukur, sebagai dzikir dalam bentuk lain. Karena di setiap lembar yang kutulis, aku ingin menitipkan pesan: bahwa hidup ini hanyalah titipan, dan tugas kita adalah memperbaikinya, dengan iman, ilmu, dan amal.

Aku, kopi, dan cerita yang tak pernah selesai. Mungkin inilah takdirku. Bukan untuk menyelesaikan semuanya, tapi untuk terus memperbaiki niat, memperbaiki diri, dan memperbaiki umat melalui kata-kata. Karena sejatinya, dakwah tak selalu di atas mimbar. Kadang ia tersembunyi di balik paragraf, di antara baris-baris sederhana yang lahir dari kejujuran hati.

Selama Allah izinkan aku hidup, selama masih ada iman dalam dada, dan selama masih ada waktu yang Allah pinjamkan, aku akan terus menulis. Tak harus selesai. Tapi harus selalu bermanfaat.
Dan semoga, cerita ini—yang tak pernah selesai—menjadi jalan menuju ridha-Nya.

Baca Lainnya
Ketika Puisi Menjadi Jalan Pulang: Tentang Membaca dan Menemukan Diri
Fathan Faris Saputro
  • 0 Suka .
  • 0 Komentar .
  • 9 Hari
Kalau Dikit-Dikit Tersinggung, Kapan Senangnya?
Fathan Faris Saputro
  • 0 Suka .
  • 0 Komentar .
  • 1 Bulan
Alghorethicts: Etika untuk Otak Buatan di Era AI
M Arif'an
  • 0 Suka .
  • 0 Komentar .
  • 2 Bulan