Aku Menulis, Maka Aku Kader: Menjaga Ingatan Umat di Tengah Derasnya Lupa

Nashrul Mu'minin
Minggu, 27 Juli 2025 06:50 WIB
Anak muda

Oleh Nashrul Mu'minin Content Writer Yogyakarta

Di tengah laju zaman yang bergerak begitu cepat, anak muda seperti kita sering kali terjebak dalam pusaran aktivitas yang instan, serba cepat, dan minim refleksi. Kehidupan modern memberi banyak kemudahan, tapi juga menyuguhkan kesibukan yang terkadang mematikan kepekaan. Kita sibuk membalas notifikasi, menyimak trending topic, tapi lupa mencatat momen penting yang kelak bisa menjadi jejak peradaban. Di sinilah aku merasa terpanggil: menulis bukan hanya sebagai ekspresi diri, melainkan sebagai bentuk ibadah dan pengabdian kader. Bagiku, setiap huruf yang kutulis di Ahad pagi—saat orang lain masih terlelap atau larut dalam hiburan akhir pekan—adalah saksi bahwa anak muda Muhammadiyah belum habis.

Tradisi menulis bukanlah hal baru dalam tubuh Muhammadiyah. Sejak awal, Kiai Ahmad Dahlan dan para tokohnya tidak hanya berpikir besar, tapi juga menuliskan gagasan-gagasannya dengan jelas. Tanpa itu, pemikiran tajdid hanya akan menguap, dan semangat pembaruan hanya jadi angin lalu. Maka sebagai kader muda, aku merasa menulis adalah bagian dari rantai sejarah yang tak boleh putus. Aku ingin menjadi bagian dari mereka yang mengabadikan nilai—bukan hanya mengagumi.

Namun, kenyataan hari ini menunjukkan bahwa budaya menulis di kalangan anak muda, termasuk kader Muhammadiyah, mengalami penurunan yang mengkhawatirkan. Banyak dari kita lebih aktif dalam membuat konten singkat untuk media sosial, tetapi tidak sempat duduk tenang untuk menuliskan ide dan pemikiran secara utuh. Padahal, tulisan panjang dan reflektif memiliki daya simpan yang jauh lebih lama daripada sekadar story 24 jam. Kita kehilangan kebiasaan menata pikiran dalam kalimat; kita kehilangan latihan berpikir jernih dan sistematis—dua hal yang menjadi fondasi gerakan dakwah pencerahan.

Kondisi ini mengkhawatirkan karena jika tidak ada yang menulis, maka tidak ada yang akan mengingat. Bangsa yang besar dibangun oleh penulis yang mencatat, bukan hanya pejuang yang berteriak. Siapa yang akan mengenang perjuangan dakwah lokal di cabang dan ranting jika tidak ada yang menulis? Siapa yang akan tahu bagaimana sebuah sekolah Muhammadiyah bertahan di tengah keterbatasan, jika tidak ada kader yang menuliskannya? Kekosongan tulisan berarti kekosongan sejarah. Tanpa tulisan, perjuangan hanya akan hidup sebentar di ingatan, lalu tenggelam.

Maka menurutku, menulis adalah solusi strategis untuk menjaga warisan pemikiran dan pergerakan. Menulis adalah alat kita sebagai kader untuk menyampaikan gagasan, menyusun argumen, membangun wacana, dan merekam perjuangan. Lebih dari itu, menulis melatih ketekunan, logika, dan kejujuran intelektual—karakter yang sejalan dengan nilai-nilai Islam berkemajuan. Tujuan akhirnya bukan hanya sekadar produktif, tapi menciptakan narasi alternatif yang mencerdaskan, membebaskan, dan mencerahkan.

Dalam aktivitas harianku, aku mencoba menjadikan menulis sebagai bagian dari gaya hidup kader. Setiap hari, aku mencatat ide, merespons isu terkini dari sudut pandang nilai Muhammadiyah, atau sekadar merekam dinamika kegiatan di sekolah dan ranting. Aku aktif di program Ahad Produktif, sebuah gerakan menulis yang mendorong kader-kader muda untuk berkarya meskipun hari libur. Dari situ, aku menyadari bahwa menulis bukan hanya tentang kemampuan teknis, tapi tentang kemauan untuk memulai. Saat kita mulai menulis, ide akan terus berkembang. Dan saat ide berkembang, kita ikut tumbuh menjadi kader yang lebih matang.

Implementasi gerakan literasi ini tentu tidak bisa dilakukan sendiri. Aku mulai mengajak teman-teman untuk bergabung. Kami saling mengirim tulisan, saling memberi masukan, bahkan membuat blog bersama. Aku juga aktif mengirim tulisan ke media digital seperti PWMU.CO atau buletin IPM. Di sekolah, aku ikut menghidupkan kembali mading yang sudah lama mati. Perlahan tapi pasti, suasana menulis mulai terasa: bukan sebagai beban, tapi sebagai kebanggaan. Kami bukan hanya membaca wacana dari luar, tapi ikut menciptakannya.

Namun demikian, aku juga menyadari adanya kesenjangan yang menghambat gerakan ini berkembang lebih luas. Tidak semua anak muda punya akses pelatihan menulis yang layak. Tidak semua memiliki mentor yang bisa membimbing. Bahkan, banyak di antara mereka yang tidak percaya diri bahwa tulisannya layak untuk dibaca orang lain. Padahal justru dari tulisan yang sederhana lahir pemikiran-pemikiran besar. Kesenjangan ini harus dijembatani, misalnya dengan membuat komunitas menulis yang terbuka dan inklusif di lingkungan pelajar dan mahasiswa Muhammadiyah.

Selain itu, perlu ada dukungan dari pimpinan organisasi di setiap tingkatan. Budaya literasi tidak bisa dibangun hanya dengan semangat individu, tetapi perlu sistem yang menopang. Pelatihan menulis harus menjadi bagian dari kaderisasi. Media internal organisasi harus membuka ruang bagi kader muda untuk tampil. Bahkan, apresiasi kecil pun bisa memberi dorongan besar. Jika ini dilakukan secara konsisten, aku yakin tradisi literasi dalam Muhammadiyah akan kembali hidup, bahkan lebih kuat dari sebelumnya.

Pada akhirnya, menulis bagiku bukan sekadar aktivitas, tapi sebuah bentuk perlawanan terhadap kealpaan kolektif. Aku menulis untuk melawan lupa. Aku menulis agar Muhammadiyah tetap hidup dalam narasi, bukan hanya dalam program. Aku menulis karena aku ingin dikenang bukan sebagai generasi yang sibuk, tapi sebagai generasi yang mencatat. Karena kelak, ketika semuanya telah berlalu, hanya tulisan yang akan bicara. Dan jika kader Muhammadiyah tidak menulis, maka siapa yang akan menyampaikan pada dunia bahwa kita pernah bergerak?

Di setiap Ahad yang produktif, aku menulis. Dan di setiap hari, aku belajar menjadikan produktivitas sebagai kebiasaan, bukan sekadar proyek musiman. Karena aku yakin, kader yang menulis bukan hanya mencatat sejarah, tapi menciptakannya. Maka biarlah aku mulai dari satu kalimat, satu paragraf, dan satu esai. Karena dari situlah peradaban dimulai.

Baca Lainnya
Ketika Puisi Menjadi Jalan Pulang: Tentang Membaca dan Menemukan Diri
Fathan Faris Saputro
  • 0 Suka .
  • 0 Komentar .
  • 7 Hari
Kalau Dikit-Dikit Tersinggung, Kapan Senangnya?
Fathan Faris Saputro
  • 0 Suka .
  • 0 Komentar .
  • 1 Bulan
Alghorethicts: Etika untuk Otak Buatan di Era AI
M Arif'an
  • 0 Suka .
  • 0 Komentar .
  • 2 Bulan