Langkah Sederhana Menuju Jepang
Fathan Faris Saputro
Sabtu, 1 November 2025 06:16 WIB
Oleh: Fathan Faris Saputro (Koordinator Divisi Pustaka dan Informasi MPID PDM Lamongan)
Di sebuah desa kecil di pinggiran Blitar, hidup seorang pemuda bernama Rafi, anak sulung dari keluarga petani singkong. Ayahnya, Pak Mulyono, tiap pagi sudah membungkuk di ladang, memegang cangkul yang gagangnya mulai lapuk. Sementara ibunya, Bu Rini, sibuk menjemur singkong yang dikupasnya semalam. Dari hasil singkong itulah kehidupan keluarga mereka berjalan, pelan, sederhana, tapi penuh cinta.
Rafi sejak kecil sudah terbiasa dengan kesederhanaan. Ia berjalan kaki ke sekolah, menempuh jarak hampir empat kilometer setiap hari. Sepulang sekolah, ia membantu ayahnya di ladang. Namun, di sela lelahnya, ia selalu membawa satu buku ke mana pun pergi. Buku yang dibelinya dari uang tabungan hasil menjual singkong rebus di pasar.
“Raf, kau ini belajar terus. Apa tidak capek?” tanya ayahnya suatu sore ketika mereka duduk di pematang.
Rafi tersenyum kecil. “Capek, Yah. Tapi kalau aku berhenti, capeknya Ayah dan Ibu juga tidak akan berubah jadi apa-apa.”
Pak Mulyono terdiam. Di balik wajah legamnya, ada kilau bangga yang tak terucap.
Tahun demi tahun berlalu. Rafi diterima kuliah di universitas negeri di Malang, jurusan Teknik Lingkungan. Ia kuliah dengan beasiswa Bidikmisi, bantuan untuk mahasiswa kurang mampu. Di kampus, ia dikenal bukan karena gaya, tapi karena kesederhanaannya yang menenangkan. Ia selalu membawa bekal nasi singkong buatan ibunya dan lebih memilih jalan kaki daripada naik ojek ke kampus.
“Raf, kamu nggak bosan ya makan singkong terus?” tanya Rudi, teman sekamarnya.
“Singkong itu dari tangan Ayah dan Ibu. Kalau aku makan, rasanya seperti makan doa,” jawabnya ringan.
Ucapan itu menjadi semacam legenda kecil di kalangan teman-temannya.
Setelah lulus dengan predikat cumlaude, Rafi tidak langsung mencari kerja di kota besar. Ia kembali ke desanya. Di sana, ia membantu warga membuat pupuk organik dari limbah singkong dan mengajarkan cara bercocok tanam yang lebih efisien. Desa kecil itu perlahan berubah, lebih hijau dan lebih produktif.
Suatu hari, Rafi menerima surat elektronik dari kampusnya. Ia membaca dengan hati berdebar: “Selamat, Anda lolos seleksi beasiswa S2 ke Jepang.”
Ia memandangi layar itu lama sekali. Air matanya menetes. Dalam benaknya terbayang wajah ayah dan ibu di ladang yang tak pernah berhenti percaya bahwa anak mereka bisa melangkah sejauh apa pun.
Persiapan keberangkatan ke Jepang berjalan dengan segala keterbatasan. Rafi tidak membeli koper baru, hanya memakai tas besar bekas kuliahnya dulu. Saat berpamitan, ayahnya menyerahkan sesuatu: sebuah kantong kain berisi tanah kering dari ladang singkong mereka.
“Biar kamu ingat asalmu,” kata Pak Mulyono pelan. “Kamu boleh ke negeri mana pun, tapi tetaplah jadi anak petani.”
Rafi mengangguk, menahan haru. Ia memeluk orang tuanya lama sekali.
Musim semi menyambut Rafi di Jepang. Bunga sakura berguguran di jalan menuju kampusnya, Tokyo University of Agriculture and Technology. Mahasiswa dari berbagai negara lewat dengan gaya modern, sementara Rafi tetap dengan jaket polos dan sepatu lusuhnya.
Di asrama, ia dikenal sebagai mahasiswa yang rendah hati. Ia sering membantu temannya menerjemahkan artikel atau menemani mahasiswa Jepang belajar bahasa Indonesia. Tapi di setiap waktu luang, ia menulis tentang singkong, tentang tanah, tentang arti kesederhanaan.
Profesor pembimbingnya, Dr. Tanaka, suatu hari bertanya, “Rafi, kenapa kamu selalu menulis tentang desa dan tanah?”
Rafi tersenyum. “Karena dari sanalah semua ilmu ini akan kembali, Sensei.”
Dr. Tanaka mengangguk pelan. Ia tahu, mahasiswa dari Indonesia ini bukan hanya mengejar gelar, tapi membawa misi kehidupan.
Dua tahun berlalu. Pada hari wisuda, Rafi naik ke podium menerima penghargaan sebagai lulusan terbaik program S2. Dalam pidatonya, ia berkata dengan suara bergetar:
“Saya bukan anak kota besar. Saya hanya anak petani singkong yang diajarkan arti kerja keras dan kejujuran. Di sini saya belajar banyak hal, tapi yang paling penting: ilmu setinggi apa pun harus membuat kita semakin rendah hati.”
Sontak aula bergemuruh oleh tepuk tangan panjang. Di bangku tamu, terlihat sepasang orang tua renta yang datang jauh-jauh dari Indonesia, menatap anaknya dengan mata basah, mata yang dulu penuh lumpur ladang kini penuh cahaya bangga.
Sepulangnya ke Indonesia, Rafi tidak tinggal di kota besar seperti kebanyakan lulusan luar negeri. Ia pulang ke desanya, membangun Pusat Pembelajaran Pertanian Rakyat, mengajarkan inovasi pengolahan singkong menjadi produk bernilai tinggi. Ia tidak pernah merasa menjadi orang besar. Ia hanya melanjutkan langkah kecil yang dulu dimulai di ladang.
Ketika ditanya oleh wartawan tentang rahasia kesuksesannya, Rafi hanya tersenyum dan berkata: “Langkah saya sederhana saja: berjalan dari tanah yang jujur menuju langit yang bersyukur.”
Dan sejak hari itu, nama Rafi, anak petani singkong yang menembus Jepang, menjadi simbol harapan bagi banyak anak desa di seluruh negeri bahwa kesederhanaan bukan penghalang untuk bermimpi, melainkan jembatan menuju cahaya.
Baca Lainnya
Korupsi dan Jerat Ekosistem Kepemimpinan: Refleksi untuk Keluar dari Jebakan
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 4 Hari
Mewarisi Api Pembaruan: Konsistensi Ideologis Muhammadiyah di Tengah Zaman untuk Memajukan Kesejahteraan Bangsa
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 12 Hari
Menyambut Hadiah Indah: Merengkuh Makna Kematian dengan Ridha
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 13 Hari
Pemuda, Jembatan Waktu Menuju Indonesia Emas 2045
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 15 Hari
Ia Tak Menilai dari Pakaian
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 19 Hari
Mengurai Dinamika dan Rasionalisasi Daerah Pemilihan DPRD Kota Surabaya: Kajian Strategis dan Simulasi Dapil dengan Potensi 55 Kursi
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 20 Hari
Pengakuan WHO untuk EMT Muhammadiyah: Titik Balik Kesiapsiagaan Medis Indonesia
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 20 Hari
Tak Pernah Menyerah, Hanya Terus Mengerjakan
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 21 Hari
Lulusan dari Doa Tukang Tambal Ban
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 25 Hari
