Tak Pernah Menyerah, Hanya Terus Mengerjakan

Fathan Faris Saputro
Rabu, 22 Oktober 2025 19:49 WIB
Istimewa


Oleh: Fathan Faris Saputro (Koordinator Divisi Pustaka dan Informasi MPID PDM Lamongan)

Di kelas VII B MTs Muhammadiyah, ada seorang siswa yang tidak banyak bicara. Namanya Arfan. Ia bukan siswa yang selalu mendapatkan nilai tertinggi, bukan pula yang paling cepat mengangkat tangan ketika guru bertanya. Namun, ada sesuatu pada dirinya yang membuat semua guru mengenalnya: ia tidak pernah menyerah, dan selalu mengerjakan setiap tugas dengan penuh ketulusan.

Setiap kali guru memberi pekerjaan rumah, Arfan akan mengangguk pelan, mencatat dengan rapi, lalu membawa pulang buku-bukunya ke rumah yang sederhana di pinggir sawah. Rumahnya berdinding papan, dengan lantai semen yang dingin dan sebuah meja belajar kecil yang dibuat dari kayu bekas peti. Di sanalah Arfan biasa duduk setiap malam, di bawah cahaya lampu minyak yang redup.

Ayahnya, Pak Hasan, adalah seorang petani cabai. Setiap pagi, ayahnya berangkat ke sawah membawa cangkul di bahu, sementara ibunya mengajar anak-anak kecil mengaji di TPQ kampung. Meski hidup mereka sederhana, rumah itu tidak pernah kekurangan semangat dan doa.

“Kalau capek, istirahatlah. Tapi jangan berhenti sebelum selesai,” ujar ayahnya suatu malam ketika melihat Arfan menulis di buku tugas dengan mata yang hampir terpejam. Kalimat itu menancap di hati Arfan, menjadi prinsip yang tak pernah ia lupakan.

Setiap tugas dari guru ia kerjakan dengan sungguh-sungguh. Tidak pernah ia menunda, apalagi menyalin pekerjaan temannya. Ketika beberapa teman di kelas mengeluh karena banyaknya tugas, Arfan hanya tersenyum.

“Kenapa kamu selalu rajin, Fan?” tanya Dimas, teman sebangkunya, suatu sore.
Arfan menatap halaman sekolah yang mulai sepi, lalu menjawab pelan, “Ayahku setiap hari bekerja di sawah tanpa mengeluh, meski panas, meski hujan. Kalau aku menyerah hanya karena tugas, berarti aku belum belajar dari ayahku.”

Jawaban itu membuat Dimas terdiam. Sejak hari itu, ia mulai menaruh hormat pada Arfan — anak petani yang sederhana tapi punya hati sebesar langit.

Suatu hari, guru Bahasa Arab memberi tugas menerjemahkan satu halaman penuh dari kitab kecil. Banyak siswa mengeluh karena tugas itu sulit. Namun, Arfan tetap mengerjakannya malam itu juga. Ia membuka kamus lama peninggalan pamannya dan menulis pelan-pelan arti tiap kata, meski kadang harus menghapus dan menulis ulang.

Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam ketika ia baru menyelesaikan separuh. Ibunya yang baru pulang dari mengajar di TPQ menghampiri.
“Belum tidur, Nak?” tanya ibunya lembut.
“Belum, Bu. Ini masih separuh. Besok harus dikumpulkan.”
Ibunya tersenyum. “Allah suka pada orang yang bersungguh-sungguh. Tapi jangan lupa istirahat, ya.”

Arfan mengangguk. Ia menatap ibunya sejenak, lalu kembali menulis. Di luar, terdengar suara jangkrik dan hembusan angin sawah yang masuk lewat celah jendela. Malam itu terasa panjang, tapi di hati Arfan tumbuh tenang: keikhlasan yang ia pelajari dari rumah kecil itu.

Keesokan harinya, ketika guru memeriksa tugas murid-muridnya, banyak yang belum selesai. Namun, lembar milik Arfan tampak penuh tulisan rapi dari awal hingga akhir. Gurunya, Bu Rini, menatapnya dengan senyum haru.

“Arfan, kamu kerjakan ini sendiri?”
“Iya, Bu.”
“Kamu tahu artinya semua ini?”
“Tidak semuanya, Bu. Tapi saya berusaha cari di kamus. Yang tidak tahu, saya tulis dengan tanda tanya supaya nanti bisa belajar lagi.”

Bu Rini terdiam. Dalam hati, ia berkata, anak ini bukan hanya belajar dari buku, tapi juga dari kehidupan.

Hari demi hari berlalu. Nilai Arfan memang tidak selalu sempurna, tetapi semangatnya tidak pernah padam. Ia tetap datang ke sekolah dengan seragam yang sudah memudar warnanya, tetap membawa bekal sederhana berisi nasi dan sambal tempe, dan tetap tersenyum pada siapa pun yang menyapanya.

Suatu pagi, sekolah mengadakan lomba menulis esai bertema “Keteladanan dalam Kehidupan Sehari-hari.” Banyak siswa menulis tentang pahlawan nasional, tokoh terkenal, atau motivator yang mereka baca di internet. Arfan menulis tentang ayahnya.

Judul tulisannya: “Ayahku yang Mengajarkanku Ikhlas.”

Dalam tulisannya, Arfan menulis,

“Ayahku tidak pernah marah saat hasil panen sedikit. Ia hanya bilang, mungkin tanah sedang lelah, tapi kerja harus terus dilanjutkan. Aku belajar dari sana bahwa tugas juga seperti tanah: tidak selalu memberi hasil besar, tapi harus terus dikerjakan dengan ikhlas.”

Tulisan itu membuat seluruh ruang kelas terdiam ketika dibacakan. Bahkan Bu Rini menitikkan air mata.

Beberapa pekan kemudian, Arfan diumumkan sebagai pemenang lomba tersebut. Saat namanya disebut, ia tidak melonjak kegirangan. Ia hanya tersenyum kecil, menunduk, dan bertepuk tangan untuk teman-temannya. Setelah acara selesai, ia pulang cepat-cepat untuk membantu ayahnya di sawah.

“Fan, kamu menang lomba, ya?” tanya ayahnya ketika Arfan datang membawa cangkul.
“Iya, Yah. Tapi itu cuma tulisan kecil.”
Pak Hasan tersenyum sambil menepuk bahunya. “Yang kecil itu kadang paling besar nilainya di hadapan Allah, Nak. Kalau dikerjakan dengan ikhlas, semua jadi ibadah.”

Arfan mengangguk. Di bawah langit yang mulai jingga, ia membantu ayahnya menanam bibit cabai baru. Di kepalanya, ia teringat tugas baru dari sekolah — tapi kali ini, ia tak terburu-buru cemas. Ia tahu, selama dikerjakan dengan niat baik dan hati lapang, semua akan selesai pada waktunya.

Sejak hari itu, banyak teman di kelas yang meniru sikap Arfan. Mereka tidak lagi menunda tugas, tidak lagi mengeluh, dan mulai belajar bekerja dengan hati tenang. Arfan tidak pernah memerintah siapa pun. Ia hanya terus mengerjakan — seperti ayahnya yang setiap hari mencangkul tanah tanpa perlu banyak bicara.

Ia bukan siswa yang mencolok, tapi ia adalah pelajaran hidup bagi semua yang mengenalnya:
Bahwa orang ikhlas tidak butuh tepuk tangan. Ia cukup bahagia karena tahu sedang melakukan hal yang benar.

Baca Lainnya
Lulusan dari Doa Tukang Tambal Ban
Fathan Faris Saputro
  • 0 Suka .
  • 0 Komentar .
  • 3 Hari
Tawa di Balik Gerobak Cilok
Fathan Faris Saputro
  • 0 Suka .
  • 0 Komentar .
  • 5 Hari
Cahaya di Balik Seragam Lusuh
Fathan Faris Saputro
  • 0 Suka .
  • 0 Komentar .
  • 6 Hari
Rezeki yang Mengalir dari Gelas Es Pisang
Fathan Faris Saputro
  • 0 Suka .
  • 0 Komentar .
  • 7 Hari
Senyum di Tengah Asap Penggorengan
Fathan Faris Saputro
  • 0 Suka .
  • 0 Komentar .
  • 8 Hari
Sore di Ujung Jalan Kenangan
Fathan Faris Saputro
  • 0 Suka .
  • 0 Komentar .
  • 11 Hari