Rezeki yang Mengalir dari Gelas Es Pisang

Fathan Faris Saputro
Rabu, 15 Oktober 2025 20:28 WIB
Ilustrasi


Oleh: Fathan Faris Saputro (Koordinator Divisi Pustaka dan Informasi MPID PDM Lamongan)

Setiap pagi, ketika matahari baru saja menampakkan sinarnya di ufuk timur, seorang lelaki tua sudah berdiri di pinggir jalan depan sekolah dasar negeri itu. Namanya Pak Darma, penjual es pisang ijo keliling yang setia dengan gerobak tuanya. Cat hijau pada gerobaknya sudah pudar, sebagian kayunya mulai rapuh dimakan usia, tetapi senyum di wajah Pak Darma tak pernah ikut luntur.

“Es pisang ijo, segar... segar...,” serunya pelan, dengan nada khas yang selalu disertai ketulusan.

Anak-anak sekolah sudah mengenalnya. Bahkan sebagian memanggilnya “Mbah Es.” Setiap pagi mereka menunggu, bukan hanya karena rasa manis dan lembutnya es pisang buatan Pak Darma, tetapi juga karena kebaikan hatinya.

Pak Darma punya kebiasaan yang tidak semua orang tahu. Sebelum membuka jualannya, ia selalu berhenti sejenak di mushala kecil dekat rumah kontrakannya. Ia duduk di beranda mushala, membuka kaleng kecil berisi uang logam dan lembaran ribuan yang sudah kusut. Dari situ, ia mengambil selembar dua ribu, kadang lima ribu, untuk dimasukkan ke kotak amal.

“Biar sedikit, asal rutin,” gumamnya lirih setiap kali melakukan itu.

Baginya, bersedekah bukan soal jumlah, melainkan kebiasaan hati untuk memberi. Ia selalu percaya bahwa rezeki yang ia dapat bukan hanya dari tangan pembeli, tetapi dari kemurahan Tuhan yang menilai keikhlasan.

Suatu pagi, hujan turun deras. Jalanan sepi. Anak-anak sekolah banyak yang absen karena banjir kecil di beberapa titik. Hari itu, jualan Pak Darma tak laku sama sekali. Ia hanya duduk di bawah atap toko tutup, menatap air hujan yang menetes di ujung gerobaknya.

“Ya Allah, mungkin hari ini bukan rezekiku,” bisiknya pelan. Ia tidak mengeluh, hanya menatap jauh ke jalanan yang basah.

Ketika sore tiba, ia mendorong gerobaknya pulang. Namun, di pertigaan kampung, ia melihat seorang anak kecil berlari-lari tanpa alas kaki. Bajunya basah kuyup. Anak itu tampak menangis.
“Lho, Nak, kenapa?” tanya Pak Darma.

Anak itu mengusap air mata. “Saya lapar, Mbah... Ibu sakit di rumah, belum makan dari pagi...”

Pak Darma terdiam. Dalam hatinya, ada rasa iba yang menyesak. Padahal hari itu ia belum menjual satu pun gelas es pisang ijo. Tapi tanpa pikir panjang, ia mengambil satu porsi dari gerobaknya.

“Nih, makan yang ini dulu. Jangan khawatir soal bayar, ya.”

Anak itu tampak ragu, tetapi Pak Darma tersenyum, menepuk bahunya lembut. “Makanlah, Nak. Kalau rezeki memang untukmu, nanti Tuhan yang bayar.”

Anak kecil itu pun makan dengan lahap, meski kedinginan. Di wajahnya, ada kebahagiaan sederhana yang sulit dijelaskan. Setelah selesai, ia menatap Pak Darma sambil mengucap lirih, “Terima kasih, Mbah.”

Pak Darma hanya tersenyum. “Yang penting kamu kenyang. Sampaikan salam buat ibumu, ya.”

Keesokan harinya, langit cerah kembali. Pak Darma berangkat lebih pagi dari biasanya. Ketika ia tiba di depan sekolah, seorang pria berjas rapi menghampirinya.

“Permisi, Pak... apakah Bapak yang kemarin memberi makan anak kecil di pertigaan?” tanya pria itu sopan.

Pak Darma agak terkejut. “Iya, betul. Ada apa, ya?”

Pria itu tersenyum hangat. “Anak itu keponakan saya. Kami sedang mencarinya sejak kemarin. Ibu anak itu sedang dirawat, dan dia sempat tersesat di jalan. Kami sangat berterima kasih atas kebaikan Bapak.”

Pak Darma mengangguk pelan. “Ah, tak perlu terima kasih, Pak. Saya hanya memberi sedikit yang saya punya.”

Namun, pria itu lalu membuka dompetnya dan menyerahkan amplop berisi uang. “Anggap ini tanda terima kasih dari keluarga kami. Jangan ditolak, ya, Pak.”

Pak Darma menatap amplop itu lama. “Rezeki memang selalu datang dengan cara yang tak terduga,” gumamnya dalam hati. Ia menerima dengan penuh syukur, bukan karena nominalnya, tetapi karena hatinya yang tenang.

Sejak hari itu, gerobak es pisang ijo milik Pak Darma semakin dikenal. Banyak pelanggan baru datang, bukan hanya karena rasanya, tetapi karena cerita kebaikan sang penjual yang tulus.

Setiap pagi, sebelum membuka jualannya, Pak Darma tetap datang ke mushala. Ia tetap memasukkan uang ke kotak amal, kadang lebih banyak dari biasanya.

“Terima kasih, ya Allah. Kalau dulu aku hanya bisa memberi dua ribu, sekarang bisa sepuluh ribu,” katanya sambil tersenyum kecil.

Ia tahu, rezeki tidak selalu tentang uang yang diterima, tapi tentang hati yang lapang ketika memberi. Dalam setiap gelas es pisang ijo yang ia sajikan, mengalir doa dan sedekah yang tulus—seperti namanya: rezeki yang mengalir dari gelas es pisang.

Baca Lainnya
Tak Pernah Menyerah, Hanya Terus Mengerjakan
Fathan Faris Saputro
  • 0 Suka .
  • 0 Komentar .
  • 9 Jam
Lulusan dari Doa Tukang Tambal Ban
Fathan Faris Saputro
  • 0 Suka .
  • 0 Komentar .
  • 3 Hari
Tawa di Balik Gerobak Cilok
Fathan Faris Saputro
  • 0 Suka .
  • 0 Komentar .
  • 5 Hari
Cahaya di Balik Seragam Lusuh
Fathan Faris Saputro
  • 0 Suka .
  • 0 Komentar .
  • 6 Hari
Senyum di Tengah Asap Penggorengan
Fathan Faris Saputro
  • 0 Suka .
  • 0 Komentar .
  • 8 Hari
Sore di Ujung Jalan Kenangan
Fathan Faris Saputro
  • 0 Suka .
  • 0 Komentar .
  • 11 Hari