Tawa di Balik Gerobak Cilok
Fathan Faris Saputro
Jumat, 17 Oktober 2025 21:02 WIB

Oleh: Fathan Faris Saputro (Koordinator Divisi Pustaka dan Informasi MPID PDM Lamongan)
Setiap pagi, sebelum matahari benar-benar menampakkan sinarnya di ufuk timur, Pak Samin sudah menuntun gerobaknya keluar dari gang sempit tempat ia tinggal. Gerobak itu sudah tampak kusam dimakan usia, cat birunya mengelupas di sana-sini, tetapi bunyi roda kayunya selalu membawa semangat baru bagi pemiliknya. Di atas gerobak sederhana itu, tersusun panci besar berisi cilok hangat, beberapa botol saus kacang buatan sendiri, dan termos kecil berisi air panas untuk menyeduh minuman.
Pak Samin bukanlah orang yang banyak bicara. Namun, setiap kali ia menatap jalanan yang mulai ramai, senyum kecil selalu muncul di wajahnya. Ia tahu, hari baru berarti harapan baru—meski hanya dari sejumput tepung tapioka yang diolah dengan penuh cinta. Sejak istrinya meninggal lima tahun lalu, gerobak cilok itu menjadi satu-satunya sumber penghidupan bagi dirinya dan anak semata wayangnya, Siti, yang kini duduk di bangku kelas dua SMP.
“Pak, jangan lupa bawa bekal air minum, ya!” teriak Siti dari teras rumah kecil mereka. “Iya, Nak. Kamu juga jangan lupa sarapan dulu sebelum berangkat sekolah,” balas Pak Samin sambil tersenyum.
Setiap pagi, sebelum berangkat, Siti selalu menyelipkan doa dalam hatinya agar ayahnya diberi rezeki yang cukup. Ia tahu, uang hasil jualan cilok itulah yang membiayai buku-buku sekolah dan seragamnya. Tak jarang, ketika hasil jualan sedang menurun, Pak Samin berpura-pura sudah makan agar Siti tidak merasa bersalah saat menghabiskan sepiring nasi di rumah.
Di depan sekolah dasar dekat alun-alun, gerobak Pak Samin selalu diserbu anak-anak. Mereka menyukai cilok buatan Pak Samin bukan hanya karena rasanya yang gurih, tetapi juga karena senyum ramah yang selalu menyertai setiap tusukan cilok.
“Pak, tambah pedes, ya!” pinta seorang anak sambil menyerahkan uang dua ribuan. “Siap, Nak! Tapi nanti jangan nangis, lho,” jawab Pak Samin sambil terkekeh kecil.
Tawanya sederhana, tapi tulus. Tawa yang membuat anak-anak merasa dekat, dan para orang tua percaya menitipkan uang jajan pada penjual sejujur dia. Di balik tawa itu, tersimpan perjuangan panjang—hari-hari di mana hujan deras mengguyur jalanan hingga gerobaknya basah kuyup, atau ketika panas terik membuat tubuhnya lemas, tetapi langkahnya tak pernah berhenti.
Pernah suatu sore, ketika jualannya sepi, seorang pemuda mendekatinya. “Pak, sudah lama jualan cilok?” tanya pemuda itu. “Sudah, Nak. Mungkin hampir dua puluh tahun. Dari sebelum Siti lahir,” jawab Pak Samin sambil membersihkan panci. “Capek enggak, Pak?”
Pak Samin tersenyum. “Capek itu pasti, Nak. Tapi kalau diingat, cilok ini yang membuat anak saya bisa sekolah, membuat dapur tetap mengepul, ya, jadi nikmat rasanya.”
Pemuda itu terdiam, menatap gerobak tua dengan cat yang mengelupas, lalu melihat wajah Pak Samin yang tetap sumringah meski kulitnya sudah legam terbakar matahari. Dari sanalah ia belajar, kebahagiaan bukan soal seberapa banyak uang di kantong, tetapi seberapa besar rasa syukur di hati.
Suatu hari, sekolah tempat Siti belajar mengadakan bazar amal. Setiap siswa diminta membawa makanan untuk dijual, dan hasilnya disumbangkan untuk panti asuhan. Siti dengan bangga berkata pada gurunya, “Saya bawa cilok buatan Bapak, Bu. Pasti enak!”
Benar saja, cilok itu cepat habis. Bahkan kepala sekolah sempat memuji, “Cilokmu enak sekali, Siti. Tolong sampaikan terima kasih untuk ayahmu, ya.”
Sore harinya, Siti pulang dengan wajah berseri. Ia memeluk ayahnya sambil berkata, “Pak, cilok Bapak laku semua! Semua suka!” Pak Samin tertawa lepas. “Alhamdulillah, Nak. Berarti cilok kita bukan cuma mengenyangkan, tapi juga membawa bahagia.”
Hari-hari terus berlalu. Gerobak tua itu tetap setia menemani langkah Pak Samin. Kadang ia berhenti di taman kota, kadang di depan sekolah, kadang di pasar. Di setiap tempat, ia menyebar aroma cilok yang khas—dan lebih dari itu, menyebar tawa dan kehangatan yang tulus.
Suatu sore yang teduh, seorang pelanggan kecil menghampiri. “Pak, nanti kalau saya sudah besar, saya mau beli gerobak kayak Bapak,” katanya polos. Pak Samin tersenyum dan menepuk kepala anak itu. “Yang penting bukan gerobaknya, Nak, tapi kerja keras dan hatinya. Kalau kamu kerja jujur dan bahagia, apa pun yang kamu lakukan pasti jadi berkah.”
Dan di senja itu, di bawah langit yang mulai memerah, tawa Pak Samin kembali terdengar. Tawa sederhana yang lahir dari hati yang penuh syukur, dari hidup yang tak mewah tapi bermakna. Tawa di balik gerobak cilok—tawa yang mengajarkan, bahwa kesederhanaan bukan tentang kekurangan, melainkan tentang kebahagiaan yang tumbuh dari rasa cukup.
Baca Lainnya
Tak Pernah Menyerah, Hanya Terus Mengerjakan
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 9 Jam
Lulusan dari Doa Tukang Tambal Ban
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 3 Hari
Cahaya di Balik Seragam Lusuh
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 6 Hari
Rezeki yang Mengalir dari Gelas Es Pisang
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 7 Hari
Muhammadiyah Menghadapi Evolusi TBC di Era Digital
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 8 Hari
Senyum di Tengah Asap Penggorengan
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 8 Hari
Zakat Infak Sedekah untuk Pangan : Strategi Filantropi Islam dalam Membangun Ketahanan Pangan Kota Surabaya
- 18 Suka .
- 2 Komentar .
- 9 Hari
Sore di Ujung Jalan Kenangan
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 11 Hari
Semangat Kedaulatan di Usia Delapan Dekade: Sinergi Hizbul Wathan Surabaya di HUT ke-80 TNI
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 17 Hari