Lulusan dari Doa Tukang Tambal Ban
Fathan Faris Saputro
Minggu, 19 Oktober 2025 06:14 WIB

Oleh: Fathan Faris Saputro (Koordinator Divisi Pustaka dan Informasi MPID PDM Lamongan)
Pagi itu, suara kompresor tua meraung di pinggir jalan desa. Asap tipis bercampur debu menari di udara, sementara seorang pria paruh baya berkeringat di bawah terik matahari. Dialah Pak Rahman, tukang tambal ban yang sudah tiga puluh tahun setia dengan pekerjaannya. Di tengah suara kendaraan yang lalu-lalang, tangannya yang hitam karena oli tak pernah berhenti menambal ban bocor satu demi satu. Ia tidak kaya, tetapi selalu tampak tenang dan bersyukur.
Setiap hari, Pak Rahman membuka lapak kecil dari bambu dan terpal bekas. Di sanalah ia mencari nafkah untuk menyekolahkan anak semata wayangnya, Laila. Hidup mereka sederhana—hanya rumah kayu beratap seng di pinggir sawah—tetapi doa selalu mengisi setiap ruang. Setiap kali mengusap keringat dari wajahnya, Pak Rahman berbisik lirih, “Ya Allah, tambalkan juga nasib anakku, jangan biarkan mimpinya bocor seperti ban yang kutambal ini.”
Laila tumbuh menjadi gadis cerdas dan tekun. Ia belajar di bawah lampu minyak saat listrik sering padam, sementara suara kompresor ayahnya menjadi latar malam-malam perjuangannya. Setiap kali nilai ujian dibagikan, ia selalu tersenyum sambil menunjukkan hasilnya kepada ayahnya. Pak Rahman tak pernah pandai membaca nilai-nilai itu, tapi ia tahu satu hal: angka-angka itu adalah tanda bahwa doa dan kerja kerasnya tidak sia-sia.
“Belajarlah yang sungguh-sungguh, Nak,” kata Pak Rahman suatu sore. “Ayah tidak punya banyak harta, tapi ayah punya waktu untuk mendoakanmu setiap hari.” Kalimat itu menancap dalam hati Laila seperti paku yang kokoh. Ia tahu, dari lapak tambal ban sederhana itulah, semua impiannya ditopang oleh pengorbanan dan doa seorang ayah.
Tahun demi tahun berlalu. Laila berhasil diterima di universitas negeri ternama melalui beasiswa. Saat keberangkatan, Pak Rahman memeluk anaknya erat. “Jangan khawatir tentang biaya, Nak. Allah selalu punya cara menolong orang yang berjuang,” katanya sambil tersenyum, meski di matanya tersimpan cemas dan rindu. Ia menjual sepeda tuanya untuk ongkos awal, dan setelah itu, hanya doa yang terus ia kirimkan dari pinggir jalan.
Di kampus, Laila tak pernah lupa asalnya. Ia belajar dengan gigih, menolak menyerah meski hidup di kamar kos yang sempit. Setiap kali rindu, ia menelpon ayahnya yang sedang menambal ban di bawah terik. “Ayah sudah makan?” tanyanya. Dan ayahnya selalu menjawab dengan tawa kecil, “Sudah, Nak. Ayah kenyang kalau tahu kamu sehat dan semangat.” Padahal sering kali ia hanya meneguk air putih dan sepotong singkong rebus.
Tahun berganti, perjuangan berbuah hasil. Laila menyelesaikan kuliah sarjananya dengan predikat cum laude. Ia melanjutkan pendidikan hingga jenjang doktor, berkat kecerdasan dan kerja kerasnya. Sementara itu, Pak Rahman tetap setia di lapak tambalannya. Setiap orang di kampung mengenalnya bukan hanya sebagai tukang tambal ban, tetapi juga sebagai “ayah doktor.” Ia tersenyum setiap kali ada yang memanggilnya begitu, meski dalam hatinya ia merasa belum pantas menerima pujian.
Hari itu akhirnya tiba. Aula besar universitas dipenuhi sorak dan tepuk tangan. Laila, kini bergelar doktor, berdiri di atas podium dengan toga kebanggaan. Ia mencari wajah ayahnya di antara kerumunan tamu. Di barisan paling belakang, seorang pria tua dengan baju lusuh dan tangan penuh bekas luka berdiri kikuk, memegang topi bututnya. Begitu nama Laila disebut, air mata itu jatuh tanpa bisa ditahan.
Setelah acara usai, Laila berlari memeluk ayahnya. “Ayah, gelar ini milikmu,” katanya dengan suara bergetar. Pak Rahman tersenyum, memegang kepala anaknya lembut. “Tidak, Nak. Gelar itu milik doa-doamu sendiri. Ayah hanya menambal ban, bukan menambal ilmu.” Laila menangis di pelukan ayahnya, mencium tangan yang kasar itu dengan penuh hormat.
Sejak hari itu, lapak tambal ban di pinggir jalan itu berubah menjadi simbol harapan. Banyak anak kecil datang untuk sekadar mendengar cerita perjuangan ayah dan anak itu. Pak Rahman tidak pernah berhenti bekerja, meski anaknya sudah sukses. “Bekerja itu bukan tentang miskin atau kaya,” katanya kepada seorang pelanggan muda. “Bekerja itu tentang mensyukuri setiap kesempatan yang Allah kasih.”
Kini, setiap kali orang melewati lapak tambal ban di pinggir jalan itu, mereka melihat papan kecil bertuliskan: “Tambal Ban Rahman – Lulusan dari Doa.” Di balik papan sederhana itu, tersimpan kisah tentang cinta, kesederhanaan, dan doa yang mampu menembus batas kemustahilan.
Dan di setiap hembusan angin yang melewati jalan berdebu itu, seakan terdengar bisikan lembut seorang ayah: “Tidak ada yang sia-sia dari doa yang tulus, meski berasal dari tangan yang berlumur oli.”
Baca Lainnya
Tak Pernah Menyerah, Hanya Terus Mengerjakan
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 9 Jam
Tawa di Balik Gerobak Cilok
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 5 Hari
Cahaya di Balik Seragam Lusuh
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 6 Hari
Rezeki yang Mengalir dari Gelas Es Pisang
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 7 Hari
Muhammadiyah Menghadapi Evolusi TBC di Era Digital
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 8 Hari
Senyum di Tengah Asap Penggorengan
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 8 Hari
Zakat Infak Sedekah untuk Pangan : Strategi Filantropi Islam dalam Membangun Ketahanan Pangan Kota Surabaya
- 18 Suka .
- 2 Komentar .
- 9 Hari
Sore di Ujung Jalan Kenangan
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 11 Hari
Semangat Kedaulatan di Usia Delapan Dekade: Sinergi Hizbul Wathan Surabaya di HUT ke-80 TNI
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 17 Hari