Senyum di Tengah Asap Penggorengan

Fathan Faris Saputro
Selasa, 14 Oktober 2025 08:49 WIB
Ilustrasi


Oleh: Fathan Faris Saputro (Koordinator Divisi Pustaka dan Informasi MPID PDM Lamongan)

Di sebuah gang kecil di pinggiran Lamongan, aroma gurih keripik singkong selalu tercium setiap pagi. Asap tipis dari wajan besar mengepul, menari di udara, lalu perlahan menghilang terbawa angin. Di balik kepulan asap itu, berdiri seorang perempuan paruh baya bernama Bu Siti. Tubuhnya kecil, kulitnya legam karena panas matahari dan uap minyak, tetapi senyum di wajahnya tak pernah pudar.

Setiap hari, sejak selepas salat Subuh, Bu Siti sudah sibuk menyiapkan bahan-bahan dagangannya. Singkong yang ia kupas sendiri, direndam dalam air garam, lalu diiris tipis menggunakan pisau tua peninggalan almarhum suaminya. Pisau itu sudah agak tumpul, tapi bagi Bu Siti, benda itu lebih dari sekadar alat—ia adalah kenangan dan semangat untuk terus bertahan.

“Yang penting tetap semangat, Ti. Hidup ini rezekinya Allah yang atur,” begitu dulu kata suaminya sebelum berpulang. Kalimat itu kini menjadi pegangan Bu Siti setiap kali rasa lelah menyapa.

Setelah bahan siap, Bu Siti menyalakan tungku kayu bakar di sudut dapur kecilnya. Bunyi “krek-krek” kayu yang terbakar berpadu dengan suara “cesss!” ketika irisan singkong bersentuhan dengan minyak panas. Asap mengepul pekat, membuat matanya perih. Namun, di tengah kepulan asap itu, senyum lembut tak pernah hilang dari bibirnya. Ia tahu, di balik setiap tetes keringat dan percikan minyak, ada berkah yang sedang Allah kirimkan perlahan.

Anak semata wayangnya, Rafi, duduk di pojok dapur sambil memegangi buku sekolah. Sambil belajar, sesekali ia membantu ibunya mengemas keripik yang telah matang. “Bu, nanti aku bantu jual di sekolah, ya,” katanya sambil tersenyum. Bu Siti menatap anaknya dengan mata yang berbinar, “Iya, Nak. Semoga nanti bisa laku semua. Ibu nggak apa-apa capek, asal kamu bisa terus sekolah.”

Rafi tahu, ibunya tak pernah mau mengeluh. Kadang hujan deras datang, membuat kayu bakar basah dan dapur penuh asap. Kadang, harga minyak naik sehingga keuntungan menipis. Tapi Bu Siti selalu sabar. “Rezeki itu nggak perlu dikejar sampai lupa bersyukur,” ucapnya suatu malam, saat mereka makan nasi dengan lauk tempe goreng seadanya.

Di pasar, para pedagang lain sudah mengenal Bu Siti. Mereka menyapanya dengan hormat, sebab di tengah kerasnya kehidupan pasar tradisional, Bu Siti dikenal paling sabar dan tak pernah iri pada rezeki orang lain. Jika ada pembeli yang menawar terlalu rendah, ia hanya tersenyum. “Nggih, Bu, semoga cocok rasanya. Kalau enak, besok beli lagi, ya.”

Suatu hari, seorang ibu muda datang membeli keripik dalam jumlah besar. “Bu, keripiknya enak sekali. Saya mau jual lagi di warung. Bisa pesan rutin, ya?” katanya. Wajah Bu Siti seketika berseri. Ia tak menyangka bahwa kerja keras dan kesabarannya mulai membuahkan hasil. Dalam hati ia berbisik lirih, Alhamdulillah, ya Allah... Engkau tak pernah menutup pintu rezeki bagi yang sabar.

Sejak saat itu, pesanan keripik Bu Siti semakin banyak. Ia mulai dibantu oleh dua tetangganya yang juga membutuhkan pekerjaan. Setiap pagi dapurnya menjadi tempat penuh tawa dan doa. Asap penggorengan tetap mengepul, tapi kini tak hanya menjadi saksi perjuangan, melainkan juga kebahagiaan.

Meski usianya kian senja dan tangannya mulai berkeriput, Bu Siti tetap menolak berhenti. “Selama tangan ini bisa bergerak, selama mata ini bisa melihat minyak mendidih, Ibu akan tetap menggoreng,” katanya pada Rafi yang kini duduk di bangku SMA. Rafi hanya mengangguk, matanya basah menahan haru. Ia berjanji, suatu hari nanti, ibunya tak perlu lagi berdiri lama di depan penggorengan.

Sore itu, matahari condong ke barat, dan angin membawa aroma singkong goreng ke seluruh gang kecil itu. Anak-anak pulang sekolah berlarian sambil memanggil, “Bu Siti, beli keripik, ya!” Bu Siti tertawa kecil, melayani satu per satu dengan sabar. Asap penggorengan masih menari di udara, tapi senyumnya tetap seterang cahaya senja.

Di balik kepulan asap, di antara bunyi renyah singkong yang digoreng, tersimpan kisah seorang ibu yang tak pernah menyerah. Ia mungkin tak memiliki banyak harta, tapi hatinya penuh syukur. Dan di setiap lembar keripik yang renyah itu, ada cinta, doa, dan ketulusan seorang perempuan sederhana yang mengajarkan arti sabar dan ikhlas dalam kehidupan.

Senyum di tengah asap penggorengan itu bukan sekadar kebiasaan, melainkan doa yang tak pernah berhenti terucap.

Baca Lainnya
Tak Pernah Menyerah, Hanya Terus Mengerjakan
Fathan Faris Saputro
  • 0 Suka .
  • 0 Komentar .
  • 9 Jam
Lulusan dari Doa Tukang Tambal Ban
Fathan Faris Saputro
  • 0 Suka .
  • 0 Komentar .
  • 3 Hari
Tawa di Balik Gerobak Cilok
Fathan Faris Saputro
  • 0 Suka .
  • 0 Komentar .
  • 5 Hari
Cahaya di Balik Seragam Lusuh
Fathan Faris Saputro
  • 0 Suka .
  • 0 Komentar .
  • 6 Hari
Rezeki yang Mengalir dari Gelas Es Pisang
Fathan Faris Saputro
  • 0 Suka .
  • 0 Komentar .
  • 7 Hari
Sore di Ujung Jalan Kenangan
Fathan Faris Saputro
  • 0 Suka .
  • 0 Komentar .
  • 11 Hari