Cahaya di Balik Seragam Lusuh

Fathan Faris Saputro
Kamis, 16 Oktober 2025 22:42 WIB
Ilustrasi


Oleh: Fathan Faris Saputro (Koordinator Divisi Pustaka dan Informasi MPID PDM Lamongan)

Pagi itu, matahari baru saja muncul dari balik pepohonan di ujung desa. Sinar lembutnya menembus jendela bambu rumah kecil milik keluarga Farel. Lantainya masih dari semen kasar, dindingnya sebagian besar papan yang mulai mengelupas, dan atapnya sering bocor ketika hujan deras datang. Namun dari balik kesederhanaan itu, tersimpan kisah yang perlahan berubah menjadi cahaya harapan.

Farel, siswa kelas VII B di MTs Muhammadiyah 5, duduk di tepi ranjang kayu sambil menatap seragamnya yang sudah mulai pudar warnanya. Ada tambalan kecil di bagian siku dan ujung celana yang sedikit sobek. Ia memandangi pakaian itu dengan pandangan yang kosong, seperti sedang berbicara dengan dirinya sendiri.

"Untuk apa aku sekolah tinggi-tinggi? Ayah cuma tukang becak, Ibu bantu jual sayur di pasar. Aku tak akan bisa seperti teman-teman lain," gumamnya pelan.

Setiap pagi, Farel berangkat sekolah dengan menumpang sepeda butut peninggalan pamannya. Rantai sepedanya sering lepas, namun ia tetap mengayuh perlahan menyusuri jalanan desa. Di kelas, ia lebih banyak diam. Ketika guru bertanya, ia hanya menunduk. Ketika teman-temannya bercerita tentang cita-cita, ia tersenyum kaku—seolah masa depan hanyalah milik orang lain, bukan dirinya.

Namun, hari itu berbeda. Setelah jam pelajaran selesai, Bu Laila—guru Bahasa Arab sekaligus wali kelas—memanggilnya ke ruang guru.

“Farel, Ibu ingin bicara sebentar,” ujar Bu Laila dengan lembut.

Farel menunduk. Ia khawatir, mungkin nilainya menurun atau ia melakukan kesalahan. “Bu dengar dari beberapa temanmu, kamu sering bilang kalau kamu tidak yakin bisa sukses. Apa benar begitu?” tanya Bu Laila dengan nada keibuan.

Farel terdiam, lalu mengangguk pelan. “Saya cuma merasa... sekolah ini mungkin bukan tempat saya, Bu. Saya cuma anak dari keluarga miskin.”

Bu Laila tersenyum. Ia lalu mengeluarkan selembar kertas dari mapnya—hasil ulangan Bahasa Arab pekan lalu. Di pojok kanan atas, tertulis angka 95.

“Kamu tahu ini nilai siapa?” tanya Bu Laila.

Farel menggeleng pelan.

“Itu nilaimu, Nak.”

Anak itu mendongak. Matanya membesar. “Saya...? Tapi... saya tidak yakin bisa menjawab semua dengan benar.”

“Itulah masalahmu, Farel. Kamu pandai, tapi kamu tidak percaya pada kemampuanmu sendiri. Kamu hanya melihat kekurangan, bukan potensi.”

Kata-kata itu seperti mengetuk sesuatu dalam hati Farel. Ia terdiam lama, merasa ada sesuatu yang menghangat di dadanya.

Sebelum Farel keluar dari ruang guru, Bu Laila menepuk pundaknya.
“Seragammu boleh lusuh, tapi semangatmu jangan ikut pudar. Cahaya orang sukses bukan dari bajunya, tapi dari keyakinan di dalam hatinya.”

Sejak hari itu, sesuatu berubah dalam diri Farel. Ia mulai belajar lebih giat, duduk di barisan depan, dan berani mengangkat tangan ketika guru bertanya. Ia bahkan mulai membantu teman-temannya yang kesulitan memahami pelajaran.

Malam-malamnya kini tak lagi diisi dengan keluh kesah, tetapi dengan lembar-lembar buku yang terbuka di bawah lampu minyak. Ibunya sering memperhatikan dari dapur sambil tersenyum kecil.

“Farel sekarang rajin sekali, Bu,” kata tetangganya suatu sore.
“Alhamdulillah,” jawab ibunya lirih, “mungkin doanya mulai diijabah.”

Beberapa bulan kemudian, sekolah mengadakan lomba pidato Bahasa Arab antar kelas. Farel awalnya ragu untuk ikut, tetapi Bu Laila menatapnya penuh keyakinan.
“Kamu mampu. Ingat, pesimis tidak akan mengubah nasib, tapi keberanian bisa membuka jalan.”

Hari lomba tiba. Farel berdiri di atas panggung sederhana, mengenakan seragam yang sama—masih lusuh, tapi disetrika rapi oleh ibunya pagi itu. Ia menarik napas panjang dan mulai berbicara dengan suara mantap:

“Dalam hidup, kita mungkin terlahir sederhana. Tapi bukan kesederhanaan yang membuat kita rendah, melainkan rasa takut untuk berusaha. Keyakinan adalah cahaya yang menuntun langkah kita keluar dari gelapnya keraguan.”

Sorak tepuk tangan menggema di ruangan itu. Farel berhasil—tidak hanya memenangkan lomba, tapi juga mengalahkan rasa pesimis yang dulu membelenggunya.

Ketika lomba usai, Bu Laila menghampiri dan menepuk bahunya dengan bangga.
“Apa Ibu sudah bilang? Seragammu mungkin lusuh, tapi di balik itu ada cahaya yang tak akan pernah padam.”

Sejak saat itu, Farel berubah total. Ia menjadi siswa yang paling bersemangat di kelas, sering membantu teman yang kesulitan, dan menjadi inspirasi bagi banyak orang. Setiap kali ia memandangi seragam lamanya di gantungan, ia tersenyum.

Baginya, seragam itu bukan lagi tanda kemiskinan—melainkan simbol perjuangan. Sebuah pengingat bahwa di balik segala keterbatasan, selalu ada cahaya kecil yang menunggu untuk dinyalakan.

Dan di balik seragam lusuh itu, Farel menemukan sesuatu yang lebih berharga dari sekadar nilai atau pujian: keyakinan bahwa dirinya mampu mengubah masa depan.

Baca Lainnya
Tak Pernah Menyerah, Hanya Terus Mengerjakan
Fathan Faris Saputro
  • 0 Suka .
  • 0 Komentar .
  • 9 Jam
Lulusan dari Doa Tukang Tambal Ban
Fathan Faris Saputro
  • 0 Suka .
  • 0 Komentar .
  • 3 Hari
Tawa di Balik Gerobak Cilok
Fathan Faris Saputro
  • 0 Suka .
  • 0 Komentar .
  • 5 Hari
Rezeki yang Mengalir dari Gelas Es Pisang
Fathan Faris Saputro
  • 0 Suka .
  • 0 Komentar .
  • 7 Hari
Senyum di Tengah Asap Penggorengan
Fathan Faris Saputro
  • 0 Suka .
  • 0 Komentar .
  • 8 Hari
Sore di Ujung Jalan Kenangan
Fathan Faris Saputro
  • 0 Suka .
  • 0 Komentar .
  • 11 Hari