Ia Tak Menilai dari Pakaian
Fathan Faris Saputro
Jumat, 24 Oktober 2025 22:08 WIB
Oleh: Fathan Faris Saputro (Koordinator Divisi Pustaka dan Informasi MPID PDM Lamongan)
Pagi itu udara masih lembab setelah hujan semalam. Halaman sekolah tampak berkilau oleh sisa embun. Di antara riuh murid yang berlarian menuju kelas, berdirilah seorang anak dengan kemeja putih yang sudah agak kusam, celana abu-abu sedikit pudar, dan sandal jepit yang terlihat tak sepadan dengan seragamnya. Namanya Jono.
Jono bukan anak yang banyak bicara. Ia duduk di bangku paling belakang kelas VII A, tepat di dekat jendela yang menghadap taman sekolah. Setiap pagi, ia datang lebih awal, menyapu kelas tanpa diminta, lalu duduk menunggu pelajaran dimulai sambil membaca buku kecil berjudul Tuntunan Shalat Lengkap. Buku itu sudah lusuh, tapi selalu ia bawa ke mana pun.
Teman-temannya sering kali menatapnya aneh. Beberapa tertawa pelan melihat sandalnya yang mulai tipis, atau tas kain yang tampak seperti kantong beras bekas.
“Eh, liat deh tasnya Jono, kayaknya itu peninggalan zaman perang,” canda seorang siswa bernama Dika, membuat beberapa temannya tertawa.
Jono hanya tersenyum. Ia menunduk, lalu kembali menulis di buku catatannya. Tidak sekali dua kali ia diejek karena penampilannya, tapi hatinya sudah terbiasa. Ia tahu, pakaian bukan ukuran dari harga diri seseorang. Ibunya sering berkata,
“Nak, jangan malu karena tak punya baju baru. Malulah kalau hati kita kotor dan malas bersyukur.”
Suatu hari, sekolah mengumumkan lomba menulis kisah inspiratif bertema Keteladanan dalam Kehidupan Sehari-hari. Semua siswa boleh ikut. Hadiahnya cukup besar: uang tunai dan beasiswa.
Bu Rina, guru Bahasa Indonesia, menatap ke arah Jono. “Jono, kamu mau ikut juga, kan?”
Jono tersenyum ragu. “Insyaallah, Bu. Tapi saya nggak punya komputer di rumah untuk ngetik.”
“Tak apa,” kata Bu Rina lembut. “Tulislah dulu dengan tangan. Nanti Ibu bantu ketikkan di sekolah.”
Sejak hari itu, sepulang sekolah, Jono menulis di bawah lampu minyak kecil di rumahnya. Rumah itu sederhana—dindingnya dari papan, atapnya bocor di beberapa bagian. Ibunya menjahit baju tetangga untuk menyambung hidup, sedangkan ayahnya sudah lama meninggal dunia. Namun dalam kesederhanaan itu, doa dan semangat tak pernah padam.
Tulisan Jono berjudul Orang yang Menolong Tanpa Dikenal. Ia menulis tentang seorang pemuda yang membantu seorang nenek buta menyeberang jalan, tanpa mengharap ucapan terima kasih. Dalam kisah itu, Jono menegaskan bahwa keikhlasan adalah pakaian terbaik manusia, lebih berharga dari jas atau baju seragam.
Bu Rina membaca naskah itu dengan mata berbinar. “Jono, ini luar biasa. Ceritamu sangat menyentuh.”
Jono hanya tersenyum malu. “Saya cuma menulis apa yang Ibu ajarkan, Bu, bahwa kebaikan kecil bisa jadi besar kalau dilakukan dengan niat yang tulus.”
Hari pengumuman lomba pun tiba. Semua siswa berkumpul di aula sekolah. Kepala sekolah berdiri di podium, membacakan nama-nama pemenang. Suasana tegang.
“Juara pertama… diraih oleh… Jono kelas VII A!”
Ruangan hening sejenak, lalu terdengar tepuk tangan riuh. Dika yang dulu sering mengejeknya, menatap tak percaya. Jono berjalan ke depan dengan langkah tenang, mengenakan kemeja yang disetrika rapi oleh ibunya, masih dengan sandal yang sama.
Ketika menerima piala, kepala sekolah menatapnya hangat. “Jono, tulisanmu membuat kami terharu. Kamu menulis tentang orang yang tidak menilai dari penampilan. Dan hari ini, kamu sendiri adalah buktinya.”
Jono menunduk, air matanya menetes pelan. Dalam hati ia berbisik,
“Ya Allah, terima kasih Engkau telah menutupi kekuranganku dengan kebaikan kecil ini.”
Beberapa hari setelah lomba, Dika menghampiri Jono di kelas.
“Jon… maaf ya. Aku dulu sering ngeledek kamu.”
Jono menatapnya, tersenyum tanpa dendam. “Nggak apa-apa, Dik. Aku juga masih belajar biar nggak mudah menilai orang.”
Dika mengangguk pelan. “Aku jadi malu sendiri. Selama ini aku pikir orang keren itu yang bajunya bagus, ternyata yang keren itu yang hatinya bersih.”
Sejak hari itu, Dika sering duduk di dekat Jono. Ia mulai terbiasa membantu Jono menyapu kelas, bahkan ikut membaca buku-buku kecil yang dulu diabaikannya. Dan perlahan, suasana kelas VII A berubah. Tak ada lagi ejekan, tak ada lagi tawa yang menyindir.
Suatu sore, Bu Rina melihat Jono masih duduk di kelas setelah pelajaran usai.
“Kamu belum pulang, Jono?”
“Saya nunggu Ibu penjaga sekolah, Bu. Saya mau bantu beresin taman.”
“Kenapa kamu selalu mau membantu, Nak?” tanya Bu Rina dengan lembut.
Jono menatap ke luar jendela, pada langit yang mulai jingga.
“Ibu saya bilang, hidup itu seperti ladang amal. Kita menanam setiap hari. Nanti Allah yang menilai hasilnya, bukan manusia.”
Bu Rina terdiam. Kata-kata sederhana itu mengetuk hatinya. Ia tersadar bahwa di balik pakaian lusuh anak itu, tersimpan cahaya keimanan yang tak semua orang miliki.
Malam itu, di rumahnya yang kecil, Jono sujud lama sekali. Ia berdoa, bukan karena ingin menjadi terkenal, tapi agar Allah menjaga hatinya dari sombong. Di tengah keheningan, ia merasa seolah mendengar bisikan lembut dari dalam dada:
“Allah tidak menilai rupa dan pakaianmu, tapi menilai hati dan amalmu.”
Dan Jono pun tersenyum. Ia tahu, meski orang lain melihat dirinya dengan mata, Allah selalu melihatnya dengan kasih.
Baca Lainnya
Pemuda, Jembatan Waktu Menuju Indonesia Emas 2045
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 16 Jam
Mengurai Dinamika dan Rasionalisasi Daerah Pemilihan DPRD Kota Surabaya: Kajian Strategis dan Simulasi Dapil dengan Potensi 55 Kursi
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 5 Hari
Pengakuan WHO untuk EMT Muhammadiyah: Titik Balik Kesiapsiagaan Medis Indonesia
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 6 Hari
Tak Pernah Menyerah, Hanya Terus Mengerjakan
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 7 Hari
Lulusan dari Doa Tukang Tambal Ban
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 10 Hari
Tawa di Balik Gerobak Cilok
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 12 Hari
Cahaya di Balik Seragam Lusuh
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 13 Hari
Rezeki yang Mengalir dari Gelas Es Pisang
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 14 Hari
Muhammadiyah Menghadapi Evolusi TBC di Era Digital
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 15 Hari
