Nashrul Mu'minin content writer yogyakarta
Pemerintahan modern menghadapi tekanan baru yang tidak pernah terjadi pada era sebelumnya: kebutuhan untuk merespons opini publik yang bergerak secepat algoritma. Masalah utama yang muncul adalah terjadinya pergeseran orientasi kebijakan, dari berbasis perencanaan jangka panjang menjadi berbasis reaksi cepat terhadap isu viral. Fenomena ini memunculkan pertanyaan serius tentang kualitas tata kelola negara ketika keputusan publik justru ditentukan oleh arus digital yang sangat fluktuatif.
Isu pertama yang menonjol adalah meningkatnya ketergantungan pejabat publik pada popularitas media sosial. Banyak kebijakan kini lahir bukan karena kebutuhan strategis, melainkan karena tekanan dari trending topic yang viral dalam hitungan jam. Hal ini membuat pemerintah cenderung bersikap reaktif, bukan proaktif. Wacana kebijakan yang seharusnya dipertimbangkan secara rasional berubah menjadi sekadar respons terhadap persepsi publik yang sering kali dibangun oleh emosi sesaat.
Isu kedua adalah manipulasi informasi. Ketika pemerintah terlalu fokus pada apa yang viral, aktor-aktor politik tertentu justru memanfaatkan ruang digital sebagai alat mengatur agenda publik. Trending topic dapat dibentuk, diperkuat, bahkan direkayasa oleh kelompok tertentu untuk memaksa pemerintah bersikap sesuai kepentingan mereka. Ini menjadi ancaman serius bagi demokrasi karena ruang informasi tidak lagi netral, tetapi menjadi arena kompetisi manipulasi.
Tujuan dari fenomena viral governance pada dasarnya baik: agar pemerintah lebih dekat dengan rakyat dan memahami keresahan publik secara cepat. Namun tujuan ini sering gagal tercapai karena suara yang paling viral bukan selalu suara mayoritas. Yang paling ribut justru sering dianggap sebagai representasi dari masyarakat luas. Akibatnya, pemerintah bisa membuat kebijakan yang tidak proporsional, hanya untuk memuaskan kelompok yang mendominasi percakapan digital.
Arah yang seharusnya dituju oleh pemerintahan digital adalah penguatan literasi data, bukan sekadar literasi media sosial. Pemerintah perlu mampu membedakan antara isu viral yang sifatnya emosional dengan isu publik yang berbasis kebutuhan nyata. Penguatan big data governance dapat membantu pemerintah membaca pola kebutuhan masyarakat secara lebih objektif, daripada hanya mengandalkan trending topic yang berubah setiap hari.
Hasil dari viral governance yang tidak terkendali adalah munculnya instabilitas kebijakan. Program yang dirancang untuk jangka panjang bisa tiba-tiba berubah karena tekanan viral. Pemerintahan menjadi gamang dan masyarakat kehilangan kepastian arah pembangunan. Dalam kondisi ekstrem, negara bisa terjebak dalam “pemerintahan populistik digital,” yaitu kebijakan yang dibuat untuk menjadi populer, bukan untuk menjadi solusi.
Namun, jika dikelola dengan bijak, ruang viral sebenarnya dapat menjadi alat demokrasi yang efektif. Ia memungkinkan masyarakat menyuarakan kepedulian secara cepat dan masif. Pemerintah hanya perlu menempatkannya sebagai indikator awal untuk memahami isu, bukan sebagai penentu utama arah kebijakan. Dengan cara ini, viral governance dapat menjadi pendorong transparansi, bukan pengganti rasionalitas.
Pada akhirnya, tantangan terbesar bukanlah viralnya isu, tetapi kemampuan pemerintah menjaga keseimbangan antara responsivitas dan stabilitas. Negara tidak boleh menjadi budak algoritma, tetapi juga tidak boleh menutup mata terhadap keresahan publik. Pemerintahan ideal adalah yang mampu mendengar suara warganya tanpa terseret arus digital yang sesaat, serta tetap memegang kompas rasional dalam merumuskan kebijakan jangka panjang.
