Tulisanmu, Saksi Zaman di Usia 80 Tahun Indonesia
Fathan Faris Saputro
Minggu, 3 Agustus 2025 03:16 WIB

Oleh: Fathan Faris Saputro (Penulis buku Pelukan Ramadan)
Delapan puluh tahun sudah Indonesia merdeka. Bukan sekadar angka, melainkan perjalanan panjang yang menyimpan ribuan kisah. Tak semuanya terekam kamera, tapi banyak yang abadi dalam tulisan.
Catatan harian, esai sunyi, berita menggugah, puisi lirih, hingga coretan tangan di kertas lusuh—semuanya menjadi saksi diam dari pergolakan zaman.
Mereka merekam, menyimpan, dan menceritakan kembali apa yang pernah kita alami sebagai bangsa.
Di usia ke-80 ini, kita sadar: tulisan tak pernah mati. Ia menembus generasi, menjembatani waktu, dan menyuarakan harapan. Ketika perayaan kemerdekaan gegap gempita di jalanan, mari juga rayakan para penulis yang bekerja dalam diam, menulis bukan hanya untuk hari ini, tetapi untuk esok.
Zaman berganti, begitu pula medianya. Dulu pena dan kertas, kini layar dan jari.
Namun satu hal tetap: esensi tulisan tak berubah. Ia menyampaikan kebenaran, merekam peristiwa, dan menjaga nurani bangsa tetap terjaga.
Tulisan bukan hanya soal perang dan proklamasi. Ia juga bicara tentang petani yang menggenggam harapan, guru di pelosok yang tak pernah menyerah, rakyat kecil yang tetap bertahan di tengah guncangan. Semua menjadi bagian dari narasi besar Indonesia.
Dan ketika sejarah kadang disusun oleh mereka yang berkuasa, tulisan yang jujur menjadi penyeimbang. Di situlah kekuatan sesungguhnya: menjadi saksi, bukan pengikut.
Penulis bukan pahlawan yang dielu-elukan. Tapi mereka adalah pejuang. Pejuang sunyi yang melawan lupa. Yang menulis ketika banyak yang diam. Yang mencatat fakta saat dusta tersebar lebih cepat dari cahaya.
Menulis bukan hanya keterampilan. Ia adalah keberanian. Sebab dalam tiap kata yang ditulis, ada risiko: disalahpahami, dicemooh, bahkan dibungkam. Tapi mereka tetap menulis, karena itulah cara mencintai negeri ini.
Delapan puluh tahun Indonesia berdiri. Tapi masih banyak yang harus ditulis. Tentang ketimpangan, tentang lingkungan, tentang suara-suara yang terpinggirkan, dan tentang generasi yang haus makna kemerdekaan.
Kita butuh tulisan-tulisan jujur. Yang tak hanya mengulang pujian, tapi juga mengingatkan. Karena zaman butuh saksi. Dan tak semua orang bicara, tapi semua bisa menulis.
Negeri ini tidak dibangun dalam sehari. Ia tumbuh dari doa, dari darah, dan dari tulisan. Dari naskah proklamasi, manifesto perjuangan, hingga puisi yang dibacakan pelan di malam sunyi.
Tulisan adalah ingatan. Tapi lebih dari itu, tulisan adalah alat untuk mengubah. Ia membangkitkan kesadaran, menggerakkan hati, dan menyalakan semangat. Kadang, satu paragraf lebih kuat dari seribu teriakan.
Kini, mari bertanya pada diri sendiri: sudahkah aku menulis untuk negeriku? Tak perlu menunggu besar, tak perlu ditunggu publik. Cukup menulis dengan jujur dan tulus. Karena satu kalimat pun bisa menjadi percikan perubahan.
Pramoedya Ananta Toer pernah berkata, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dari masyarakat dan sejarah.”
Tulisanmu adalah jejakmu. Adalah saksi bagi zaman ini.
Di usia 80 tahun Indonesia, teruslah menulis. Sebab tinta kita hari ini bisa menjadi cahaya bagi mereka yang membaca di masa depan.
Baca Lainnya
Aku, Kopi, dan Cerita yang Tak Pernah Selesai
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 3 Hari
Tapak Suci 62 Tahun: Mencetak Generasi Kuat, Mengembangkan Tradisi ke Penjuru Dunia
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 3 Hari
Aku Menulis, Maka Aku Kader: Menjaga Ingatan Umat di Tengah Derasnya Lupa
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 8 Hari
Ketika Puisi Menjadi Jalan Pulang: Tentang Membaca dan Menemukan Diri
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 11 Hari
Ekonomi Kita Bukan Sekadar Angka: Saatnya Menggerakkan Rasa dan Rakyat
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 27 Hari
Kalau Dikit-Dikit Tersinggung, Kapan Senangnya?
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 1 Bulan
Menyongsong Agentic AI: Peluang dan Tanggung Jawab di Era Baru Kecerdasan Buatan
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 2 Bulan
Hari Lahir Pancasila, PCPM Semampir Serukan Peran Pemuda sebagai Penjaga Nilai Kebangsaan
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 2 Bulan
Kebohongan Publik Ayam Goreng Non Halal Termasuk Kejahatan Kuliner
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 2 Bulan