Dari Ojol ke Martir: Affan Kurniawan dan Krisis Kemanusiaan Kita

Didik Hermawan
Jumat, 29 Agustus 2025 16:48 WIB
Istimewa

 

Didik Hermawan
Ketua PCPM Pakal 

Nama Affan Kurniawan (21) kini menjadi simbol luka bangsa. Ia bukan aktivis politik, bukan tokoh publik. Ia hanyalah seorang pengemudi ojek online, anak muda yang sehari-hari mengais rezeki di jalanan Jakarta. Namun pada 28 Agustus 2025, Affan tewas setelah dilindas kendaraan taktis Brimob di kawasan Pejompongan saat kericuhan demonstrasi. Dalam sekejap, Affan bertransformasi dari pekerja jalanan menjadi martir yang memantik kesadaran publik tentang rapuhnya perlindungan kemanusiaan di negeri ini.

Polri bergerak cepat: Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyampaikan permintaan maaf, Kapolda Metro Jaya Irjen Asep Edi Suheri menjanjikan proses hukum, dan tujuh anggota Brimob diamankan untuk diperiksa. Namun publik sudah sering mendengar janji serupa. Pertanyaan mendasar tetap sama: apakah nyawa rakyat kecil selalu murah di republik ini?

Kematian Affan tidak bisa dipandang sebagai kecelakaan semata. Ia mencerminkan tiga problem serius. Pertama, kultur kekerasan aparat yang masih gagal membedakan antara pengendalian massa dan pelanggaran hak asasi. Kedua, kerentanan pekerja sektor informal, yang menopang ekonomi kota tetapi mudah terpinggirkan bahkan menjadi korban. Ketiga, krisis demokrasi, ketika demonstrasi sebagai hak konstitusional justru berakhir dengan korban jiwa.

Bagi keluarga, Affan adalah tulang punggung. Bagi sesama ojol, ia adalah rekan seperjuangan. Namun bagi bangsa ini, ia telah menjadi simbol. Komnas HAM menilai insiden ini sebagai pelanggaran serius. “Mengecam tindakan oknum Kepolisian Negara Republik Indonesia yang telah melakukan tindakan brutal sehingga mengakibatkan hilangnya nyawa,” tegas salah satu komisionernya.

Solidaritas publik segera bermunculan. Ribuan pengemudi ojol turun ke jalan, mahasiswa ikut bergabung, dan masyarakat luas mengecam kekerasan aparat. Martir bukanlah mereka yang memilih mati, melainkan mereka yang kematiannya membangkitkan kesadaran kolektif. Dalam hal ini, Affan telah menjadi martir—memantik api perlawanan moral terhadap praktik kekerasan yang dilegalkan.

Permintaan maaf dan investigasi Propam hanyalah langkah awal. Tanpa reformasi struktural di tubuh kepolisian, tragedi seperti Affan akan terus berulang. Aparat harus menempatkan rakyat sebagai subjek demokrasi, bukan objek represi. Budaya impunitas harus diakhiri, dan hak hidup warga harus dijunjung sebagai prinsip tertinggi negara hukum.

Affan tidak lagi hanya milik keluarganya. Ia kini milik sejarah. Dari jalanan tempat ia biasa mengantarkan penumpang, Affan hadir sebagai simbol perlawanan rakyat kecil terhadap negara yang kerap abai.

Jika kematiannya bisa menggugah nurani bangsa, maka Affan tidak mati sia-sia. Tetapi bila negara kembali gagal menghadirkan keadilan, kita hanya akan menyaksikan satu lagi nama dalam daftar panjang korban demokrasi yang cacat.

Pada akhirnya, tragedi ini meninggalkan pertanyaan tajam: berapa banyak lagi nyawa rakyat harus melayang sebelum negara benar-benar berpihak pada kemanusiaan?

Baca Lainnya
Maulid Nabi : Meneladani Rasulullah bukan Sekedar Tradisi
Salim Bahrisy
  • 0 Suka .
  • 0 Komentar .
  • 4 Hari
Maulid Nabi: Antara Tradisi Syiar dan Tafsir Puritan
Didik Hermawan
  • 0 Suka .
  • 0 Komentar .
  • 5 Hari
Renungan untuk Para Anggota MPR RI di HUT Ke-80 RI
M Arif'an
  • 0 Suka .
  • 0 Komentar .
  • 26 Hari