Civil Society Islam: Peran Muhammadiyah dan NU dalam Artikulasi Kemerdekaan Indonesia
yupan
Sabtu, 16 Agustus 2025 19:46 WIB

Oleh: Didik Hermawan, M.Pd
Ketua PCPM Pakal
Pembina IPM SMP Muhammadiyah 15 Boarding School Surabaya
Kemerdekaan Indonesia tidak hanya lahir dari perlawanan bersenjata, tetapi juga dari kerja panjang organisasi masyarakat sipil yang menanamkan kesadaran kebangsaan. Dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU), menempati posisi penting dalam sejarah tersebut. Keduanya menjadi jembatan antara nilai-nilai Islam dengan cita-cita nasionalisme, sehingga mampu mengartikulasikan Islam sebagai kekuatan kebangsaan.
Muhammadiyah yang didirikan KH. Ahmad Dahlan pada 1912 membawa semangat modernisme Islam. Melalui sekolah-sekolah, rumah sakit, dan amal usaha sosialnya, Muhammadiyah membentuk generasi Muslim yang cerdas, rasional, dan berorientasi pada kemajuan bangsa. KH. Ahmad Dahlan pernah menegaskan, “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah,” sebuah pesan moral bahwa perjuangan harus dilandasi keikhlasan untuk bangsa dan umat.
Di sisi lain, NU yang berdiri pada 1926 di bawah kepemimpinan KH. Hasyim Asy’ari hadir dengan kekuatan tradisi pesantren. NU berakar pada masyarakat pedesaan, menjaga Islam Nusantara dengan kearifan lokalnya, sekaligus menjadi benteng rakyat kecil dari ketidakadilan kolonial. Dalam Resolusi Jihad 22 Oktober 1945, KH. Hasyim Asy’ari menyerukan, “Berperang melawan penjajah adalah fardhu ‘ain bagi tiap-tiap Muslim yang berada dalam jarak 94 km dari tempat musuh.” Seruan ini membakar semangat rakyat hingga meletus pertempuran 10 November di Surabaya.
Kontribusi Muhammadiyah dan NU semakin nyata dalam proses perumusan dasar negara. Tokoh Muhammadiyah seperti Ki Bagus Hadikusumo yang duduk di BPUPKI menegaskan bahwa Islam harus menjadi moralitas kebangsaan. Ia menyatakan, “Islam bukan hanya agama, melainkan sumber etika bagi bangsa yang merdeka.” Sementara dari NU, KH. Wahid Hasyim berperan besar dalam kompromi politik yang melahirkan Pancasila. Baginya, “Pancasila adalah titik temu yang menyatukan agama dan kebangsaan.”
Pada masa revolusi, peran kedua ormas ini bahkan menyentuh ranah perjuangan fisik. Resolusi Jihad NU menjadi pemicu perlawanan besar-besaran rakyat Surabaya, sementara kader-kader muda Muhammadiyah terjun langsung dalam pertempuran di berbagai daerah. Mohammad Roem, tokoh Muhammadiyah sekaligus diplomat, menegaskan pentingnya perjuangan diplomasi: “Perang bukan tujuan, melainkan jalan untuk mencapai Indonesia merdeka.”
Setelah proklamasi, Muhammadiyah dan NU tidak berhenti berkontribusi. Muhammadiyah terus mengembangkan amal usaha modern yang menyokong pendidikan dan kesehatan, sedangkan NU menjaga tradisi pesantren sebagai pusat kaderisasi ulama dan penjaga moral bangsa. Dialektika modernisme Muhammadiyah dan tradisionalisme NU menjadi fondasi kokoh bagi lahirnya masyarakat sipil yang kuat.
Hingga kini, warisan perjuangan Muhammadiyah dan NU tetap relevan. Keduanya membuktikan bahwa Islam tidak hanya berbicara tentang ritual keagamaan, tetapi juga mampu menjadi kekuatan sosial-politik yang konstruktif. KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah menyatakan, “Islam datang untuk membebaskan, bukan mengekang; memerdekakan, bukan memperbudak.” Pesan itu sejalan dengan semangat Muhammadiyah yang selalu menekankan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Dengan demikian, sejarah kemerdekaan Indonesia tidak bisa dilepaskan dari kontribusi Muhammadiyah dan NU. Melalui jalan pendidikan, dakwah, tradisi, perjuangan fisik, hingga diplomasi, keduanya mengajarkan bahwa kemerdekaan bukanlah akhir dari perjuangan, melainkan pintu untuk terus mengisi kehidupan bangsa dengan keadilan, persatuan, dan kemajuan.
Baca Lainnya
Al-Qur’an dalam Perspektif Hermeneutika Amina Wadud: Membebaskan dari Bias Gender
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 7 Jam
Proses Pencalonan Hakim Konstitusi di DPR Dipertanyakan Keabsahannya ?
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 14 Jam
HUT RI ke-80 dan Hari Konstituai: Refleksi UUD NRI Tahun 1945
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 4 Hari
Renungan untuk Para Anggota MPR RI di HUT Ke-80 RI
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 7 Hari
Ekspresi Simbolik Generasi Muda: Antara Imajinasi dan Identitas Baru
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 15 Hari
Tulisanmu, Saksi Zaman di Usia 80 Tahun Indonesia
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 19 Hari
Aku, Kopi, dan Cerita yang Tak Pernah Selesai
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 21 Hari
Tapak Suci 62 Tahun: Mencetak Generasi Kuat, Mengembangkan Tradisi ke Penjuru Dunia
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 21 Hari
Aku Menulis, Maka Aku Kader: Menjaga Ingatan Umat di Tengah Derasnya Lupa
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 25 Hari