Al-Qur’an dalam Perspektif Hermeneutika Amina Wadud: Membebaskan dari Bias Gender

Didik Hermawan
Kamis, 21 Agustus 2025 20:49 WIB
Istimewa

 

Didik Hermawan, M.Pd
Ketua PCPM Pakal 
Pembina IPM SMP Muhammadiyah 15 Boarding School Surabaya 

Dalam sejarah panjang penafsiran Al-Qur’an, perempuan kerap menjadi pihak yang termarginalkan. Teks-teks suci sering dipahami melalui kacamata budaya yang mengukuhkan dominasi laki-laki. Amina Wadud, seorang pemikir Muslim progresif asal Amerika, hadir dengan gagasan hermeneutika gender yang berupaya membebaskan penafsiran Al-Qur’an dari bias tersebut. Ia menegaskan bahwa Al-Qur’an adalah kitab suci yang universal, diturunkan bagi laki-laki dan perempuan, dengan prinsip utama keadilan.

Hermeneutika gender ala Wadud lahir dari kegelisahan melihat adanya ketimpangan dalam relasi laki-laki dan perempuan dalam masyarakat Muslim. Menurutnya, banyak tafsir klasik menempatkan perempuan sebagai objek sekunder dalam kehidupan sosial maupun keagamaan. Padahal, Al-Qur’an sendiri menegaskan kesetaraan manusia di hadapan Allah. Firman Allah:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurāt: 13).

Ayat ini menegaskan bahwa kemuliaan manusia tidak ditentukan oleh jenis kelamin, melainkan ketakwaan. Amina Wadud menggunakan ayat ini sebagai landasan hermeneutika gender: bahwa penafsiran Al-Qur’an harus berorientasi pada prinsip kesetaraan dan keadilan. Dengan pendekatan tersebut, ia berupaya membongkar bias gender yang mengakar dalam tafsir klasik.

Dalam bukunya Qur’an and Woman, Wadud mengembangkan metodologi hermeneutika yang melibatkan tiga aspek: teks (al-nass), konteks sejarah turunnya ayat (asbāb al-nuzūl), dan konteks pembaca masa kini. Baginya, tafsir tidak bisa dilepaskan dari realitas sosial yang terus berubah. Oleh karena itu, setiap pembacaan Al-Qur’an harus mampu menjawab tantangan zaman, termasuk isu ketidakadilan gender.

Selain Al-Qur’an, Wadud juga menekankan pentingnya memahami hadis secara kritis. Misalnya, hadis Nabi Muhammad SAW yang menegaskan kesetaraan hak dan kewajiban moral:

إِنَّمَا النِّسَاءُ شَقَائِقُ الرِّجَالِ
“Sesungguhnya perempuan itu adalah saudara kandung laki-laki.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi).

Hadis ini, menurut Wadud, menunjukkan bahwa Islam pada hakikatnya menempatkan perempuan sejajar dengan laki-laki dalam martabat dan tanggung jawab keagamaan. Sayangnya, pemaknaan sosial seringkali justru mereduksi kedudukan perempuan.

Kegelisahan intelektual Wadud bukan hanya berhenti pada teori. Pada tahun 2005, ia membuat sejarah dengan menjadi imam shalat Jumat di sebuah gereja di New York, karena masjid setempat menolak penyelenggaraan acara tersebut. Peristiwa ini menimbulkan kontroversi besar di dunia Islam, karena bagi sebagian kalangan, perempuan dianggap tidak boleh menjadi imam shalat bagi jamaah laki-laki. Namun, Wadud tetap melangkah dengan keyakinan bahwa Al-Qur’an tidak pernah melarang perempuan memimpin shalat, dan praktik itu justru menegaskan prinsip kesetaraan spiritual antara laki-laki dan perempuan.

Hermeneutika gender yang ditawarkan Amina Wadud bukan sekadar kritik terhadap tafsir klasik, tetapi juga tawaran pembaruan. Ia ingin menegaskan bahwa Islam memiliki potensi besar untuk membangun tatanan masyarakat yang adil gender. Dengan menggali kembali pesan moral Al-Qur’an, umat Islam dapat membebaskan diri dari belenggu bias budaya yang selama ini mengekang perempuan.

Di era modern, gagasan Amina Wadud semakin relevan. Ketidakadilan gender masih menjadi problem nyata, baik dalam keluarga, pendidikan, maupun ranah publik. Melalui hermeneutika gender, umat Islam diajak untuk kembali membaca Al-Qur’an secara adil dan kontekstual, bukan dengan kacamata bias, melainkan dengan semangat keadilan universal.

Penafsiran Al-Qur’an melalui perspektif Amina Wadud berarti menghidupkan kembali pesan suci yang menekankan keseimbangan, keadilan, dan penghormatan terhadap martabat manusia. Dengan begitu, Al-Qur’an dapat benar-benar menjadi rahmat bagi seluruh umat manusia, tanpa terkecuali laki-laki maupun perempuan.

Baca Lainnya
Renungan untuk Para Anggota MPR RI di HUT Ke-80 RI
M Arif'an
  • 0 Suka .
  • 0 Komentar .
  • 7 Hari
Tulisanmu, Saksi Zaman di Usia 80 Tahun Indonesia
Fathan Faris Saputro
  • 0 Suka .
  • 0 Komentar .
  • 19 Hari
Aku, Kopi, dan Cerita yang Tak Pernah Selesai
Fathan Faris Saputro
  • 0 Suka .
  • 0 Komentar .
  • 21 Hari