Maulid Nabi: Antara Tradisi Syiar dan Tafsir Puritan

Didik Hermawan
Kamis, 4 September 2025 10:33 WIB
Ilustrasi

 

Didik Hermawan, M.Pd
Ketua PCPM Pakal 
Pembina IPM SMP Muhammadiyah 15 Boarding School Surabaya 

Tradisi Maulid Nabi Muhammad ﷺ di Indonesia adalah fenomena yang memperlihatkan kekayaan ekspresi keagamaan umat Islam. Hampir di seluruh daerah, perayaan ini hadir dengan wajah beragam—dari sekaten di Jawa, khanduri maulid di Aceh, hingga pengajian, shalawatan, dan sedekah bersama di berbagai masjid dan pesantren.

Kehadiran Maulid menjadi penanda kuat bahwa Islam di Indonesia tidak hanya dipahami secara normatif, tetapi juga dipraktikkan melalui tradisi kultural yang hidup di tengah masyarakat.

Dari sudut pandang konservatif, Maulid Nabi adalah bagian dari syiar Islam yang sah dan bernilai positif. Tradisi ini dianggap sebagai bentuk bid‘ah hasanah karena substansinya adalah memperbanyak dzikir, doa, dan rasa syukur. 

Para ulama klasik seperti Imam As-Suyuthi dan Ibnu Hajar Al-Asqalani bahkan memberikan legitimasi bahwa Maulid dapat menjadi sarana menumbuhkan cinta kepada Rasulullah. Lebih dari itu, perayaan ini menguatkan ukhuwah umat, menghadirkan dakwah kultural, dan memperkaya cara umat Islam menginternalisasi ajaran Nabi.

Namun, dari perspektif puritanisme, tradisi Maulid justru dipandang sebagai penyimpangan. Bagi mereka, ibadah harus memiliki dasar nash yang jelas, dan karena Nabi maupun sahabat tidak pernah merayakan kelahiran beliau, maka Maulid dianggap sebagai bid‘ah dholalah.

Lebih jauh, kaum puritan khawatir tradisi ini membuka jalan pada praktik ghuluw—berlebihan dalam memuliakan Nabi—bahkan berpotensi mencampuradukkan syariat dengan budaya yang tidak islami.

Bagi mereka, kecintaan sejati kepada Nabi bukanlah perayaan tahunan, melainkan ketaatan penuh terhadap sunnah beliau dalam kehidupan sehari-hari.

Dua arus pemikiran ini memperlihatkan dinamika antara pelestarian tradisi dan pemurnian agama. Konservatif menekankan bahwa Maulid adalah bagian dari kearifan lokal yang tidak mengurangi esensi tauhid, sementara puritan menekankan kesetiaan mutlak pada praktik generasi awal Islam.

Dalam pandangan saya, perbedaan ini seharusnya tidak menimbulkan polarisasi tajam. Maulid Nabi di Indonesia lebih tepat dimaknai sebagai ruang kolektif untuk memperkuat cinta umat kepada Rasulullah, sekaligus sarana dakwah kultural yang efektif.

Kritik puritan bisa dijadikan rambu agar perayaan tidak terjebak dalam kultus berlebihan, sementara pandangan konservatif mengingatkan bahwa agama juga hidup dalam ruang budaya. Dengan demikian, Maulid dapat terus dijaga sebagai momentum spiritual, sosial, sekaligus kultural bagi umat Islam Indonesia.

Baca Lainnya
Maulid Nabi : Meneladani Rasulullah bukan Sekedar Tradisi
Salim Bahrisy
  • 0 Suka .
  • 0 Komentar .
  • 4 Hari
Renungan untuk Para Anggota MPR RI di HUT Ke-80 RI
M Arif'an
  • 0 Suka .
  • 0 Komentar .
  • 26 Hari