Membaca Ulang G-30S/PKI: Antara Narasi, Fakta, dan Keadilan Sejarah

Didik Hermawan
Selasa, 30 September 2025 10:04 WIB
Istimewa

 

Didik Hermawan 
Penikmat Kopi Pinggir Kota 

Setiap bangsa punya titik gelap dalam sejarahnya. Bagi Indonesia, salah satu yang paling kelam adalah peristiwa Gerakan 30 September 1965 atau G-30S/PKI. Nama itu selalu menghadirkan ingatan tentang tragedi, pengkhianatan, dan luka panjang yang membelah bangsa. Tetapi, setelah lebih dari setengah abad berlalu, pertanyaan penting muncul: sudahkah kita menilai peristiwa itu dengan adil?

Narasi Resmi yang Mengakar
Selama Orde Baru, kita dijejali satu narasi tunggal: PKI adalah dalang, pelaku utama, sekaligus simbol pengkhianatan bangsa. Narasi ini disebarkan lewat buku sekolah, media, hingga film wajib tonton setiap bulan September. Generasi demi generasi tumbuh dengan cerita yang sama, seolah-olah sejarah hanya punya satu wajah.
Namun, sejarah sejatinya tak sesederhana itu. Sejarawan Asvi Warman Adam pernah mengingatkan bahwa tragedi 1965 bukan hanya soal perebutan kekuasaan di dalam negeri, tetapi juga tidak bisa dilepaskan dari konteks global Perang Dingin. Persaingan ideologi kapitalisme dan komunisme turut memperkeruh situasi politik Indonesia. Dengan kata lain, menyalahkan satu pihak secara mutlak sama saja dengan menutup banyak fakta lain yang tak kalah penting.

Luka Ganda yang Terlupakan
Kita sering mengenang para jenderal yang gugur di Lubang Buaya. Dan memang, mereka adalah korban yang harus dihormati. Tetapi, ada korban lain yang kerap terpinggirkan dari ingatan kolektif bangsa: ratusan ribu orang yang dituduh simpatisan PKI.
Sejarawan John Roosa dalam bukunya Dalih Pembunuhan Massal menyebut bahwa peristiwa setelah G-30S menimbulkan salah satu pembantaian politik terbesar abad ke-20. Banyak orang kehilangan nyawa tanpa pernah tahu kesalahannya, sementara jutaan lainnya harus hidup dalam bayang-bayang stigma “keluarga PKI”.

Adil berarti kita berani mengakui bahwa tragedi ini melahirkan luka ganda. Tidak hanya bagi keluarga perwira Angkatan Darat, tetapi juga bagi masyarakat sipil yang menjadi korban stigmatisasi. Menutup mata dari salah satunya sama saja mengkhianati keadilan sejarah.

Keadilan Sejarah, Bukan Pembenaran

Menilai secara adil bukan berarti membenarkan PKI, juga bukan berarti menghapus kesalahan pihak lain. Adil berarti berusaha melihat peristiwa ini dengan kacamata jernih—siapa pun pelakunya, siapa pun korbannya. Seperti kata Bung Karno, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang berani mengakui kesalahannya sendiri.” Sejarah bukan untuk ditakuti atau diputarbalikkan, melainkan untuk dipelajari dengan jujur.

Pelajaran untuk Generasi Muda
Generasi sekarang perlu dididik untuk membaca sejarah, bukan sekadar menghafalnya. Mereka harus diajak kritis, tidak hanya menerima satu narasi, melainkan belajar menyaring fakta, menimbang sudut pandang, dan menumbuhkan empati. Dengan begitu, sejarah tak lagi menjadi alat propaganda, melainkan guru yang sejati.

Tragedi 1965 adalah luka bangsa yang belum sepenuhnya sembuh. Kita tak bisa menghapusnya, tapi kita bisa menafsirkannya dengan lebih bijak. Membaca ulang G-30S/PKI secara adil adalah langkah penting agar bangsa ini belajar, berdamai dengan masa lalu, dan memastikan tragedi serupa tak pernah terulang.

Baca Lainnya
Ancaman Di Balik Air Keruh Sungai Di Surabaya
yupan
  • 0 Suka .
  • 0 Komentar .
  • 22 Hari
Maulid Nabi : Meneladani Rasulullah bukan Sekedar Tradisi
Salim Bahrisy
  • 0 Suka .
  • 0 Komentar .
  • 28 Hari
Maulid Nabi: Antara Tradisi Syiar dan Tafsir Puritan
Didik Hermawan
  • 0 Suka .
  • 0 Komentar .
  • 29 Hari