Nyai Ahmad Dahlan, Tokoh Emansipasi Perempuan
Aris Hidayah
Rabu, 27 November 2024 17:52 WIB
Oleh: Wilujeng (Pengurus LKSA Rumah Pintar Matahari)
Tokoh perempuan yang berjasa dalam perjalanan bangsa ini adalah Siti Walidah atau lebih dikenal sebagai Nyai Ahmad Dahlan.
Siti Walidah lahir pada 1872 di Kauman, Yogyakarta. Dia adalah putri dari KH Muhammad Fadli, seorang ulama dan anggota Kesultanan Yogyakarta.
Dia bersekolah di rumah, diajarkan berbagai aspek tentang Islam, termasuk bahasa Arab dan Alquran. Kemampuan berdakwah di asah sejak kecil. Hal ini membuatnya mendapat kepercayaan dari sang ayah untuk membantu mengajar di langgar yang biasa disebut Langgar Kiai Fadhil.
Pada tahun 1889, Siti Walidah menikah dengan Muhammad Darwis atau lebih dikenal dengan Kiai Haji Ahmad Dahlan. Setelah Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah pada 1912, Nyai Ahmad Dahlan selalu mengikuti suaminya dalam setiap perjalanan mengembangkan Muhammadiyah.
Karena beberapa pandangan Ahmad Dahlan tentang Islam dianggap radikal, pasangan ini seringkali menerima ancaman. Misalnya, sebelum perjalanan ke Banyuwangi, Jawa Timur, mereka menerima ancaman pembunuhan dari kaum konservatif di sana. Nyai Ahmad Dahlan diancam dijadikan sandera dan suaminya akan dibunuh jika berani datang ke Banyuwangi.

Pengurus LKSA Rumah Pintar Matahari Wilujeng sedang menjelaskan tentang Tokoh Emansipasi Perempuan. (Foto:Tama/eNews)
Pada tahun 1914, Nyai Ahmad Dahlan mendirikan Sopo Tresno, sebuah perkumpulan gadis-gadis terdidik di sekitar Kauman. Dia bertekad memperjuangkan hak-hak perempuan. Pengajian untuk kalangan perempuan ini tidak hanya diisi dengan pengetahuan tentang agama, tetapi juga mengajarkan tentang arti pentingnya pendidikan bagi masyarakat.
Dia dan suaminya bergantian memimpin kelompok tersebut dalam membaca Alquran dan mendiskusikan maknanya. Dia mulai berfokus pada ayat-ayat Alquran yang membahas isu-isu perempuan.
Pada tanggal 19 Mei 1917, perkumpulan Sopo Tresno berubah menjadi Aisyiyah. Nama Aisyiyah terinspirasi dari istri Nabi Muhammad, yaitu Aisyah, yang dikenal cerdas dan mumpuni. Harapannya, profil Aisyah juga menjadi profil orang-orang Aisyiyah.
Melalui Aisyiyah, Nyai Ahmad Dahlan mendirikan sekolah-sekolah putri dan asrama, serta keaksaraan dan program pendidikan Islam bagi perempuan. Dia juga menentang kawin paksa. Pemikirannya pada awalnya mendapat tantangan dari masyarakat. Namun, belakangan dapat diterima sedikit demi sedikit.
Berbeda dengan tradisi masyarakat Jawa yang patriarki, Nyai Ahmad Dahlan berpendapat bahwa perempuan dimaksudkan untuk menjadi mitra suami mereka.
Setelah suami nya, Ahmad Dahlan, meninggal dunia pada tahun 1923, Nyai Ahmad Dahlan terus aktif di Muhammadiyah dan Aisyiyah. Pada tahun 1926, ia memimpin Kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya. Ia adalah perempuan pertama yang memimpin konferensi seperti itu.
Nyai Ahmad Dahlan terus memimpin Aisyiyah sampai 1934. Selama masa pendudukan Jepang, Aisyiyah dilarang oleh militer Jepang di Jawa dan Madura pada 10 September 1943. Nyai Ahmad Dahlan kemudian bekerja di sekolah-sekolah dan berjuang menjaga siswa dari paksaan untuk menyembah matahari dan menyanyikan lagu-lagu Jepang.
Nyai Ahmad Dahlan meninggal dunia pada tanggal 31 Mei 1946 dan dimakamkan di belakang Masjid Gedhe Kauman, Yogyakarta. Berkat jasa dan pengorbanannya, pada 10 November 1971, Nyai Ahmad Dahlan dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia oleh Presiden Soeharto.
Baca Lainnya
Prof. Juanda: Politik Hukum Kepolisian Wajib Berlandaskan UUD 1945 dan Reformasi Harus Sistemik Pasca Putusan MK
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 2 Hari
Sawit, Sungai, dan Hutang Iklim: Mengapa Industri Menjadikan Sumatra Lebih Cepat Kebanjiran
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 4 Hari
Mengajarkan Pelestarian Lingkungan kepada Siswa di Tengah Deforestasi yang Terjadi Secara Sistematis
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 5 Hari
Jeritan di Balik Gerbang Sekolah: Mengapa Kekerasan dan Perundungan Tak Kunjung Padam?
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 6 Hari
Sumatra Tenggelam dalam Kubangan Bencana Negara: Sebuah Orbituari Ekologis
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 9 Hari
Dalam Sunyi, Menemukan Arti Perjuangan
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 17 Hari
Reformasi Kejaksaan di Bawah ST Burhanudin: Perkuat SDM, Ratakan Kinerja, Prioritaskan Hukum Humanis
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 18 Hari
Menjadi yang Terdepan Tanpa Berebut Menjadi yang di Depan
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 19 Hari
Hilang Arah untuk Sejarah: Pentingnya Mengenang Masa Lalu
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 24 Hari
Korupsi dan Jerat Ekosistem Kepemimpinan: Refleksi untuk Keluar dari Jebakan
- 0 Suka .
- 0 Komentar .
- 29 Hari
